BAB I
PENDAHULUAN
Karsinoma
nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher terbanyak di temukan
di Indonesia. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma
nasofaring, kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan sinus paranasal ( 18%), laring (16%) dan
tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah. Berdasarkan
data laboratorium patologik anatomik tumor ganas nasofaring sendiri selalu berada dalam kedudukan lima
besar dari tumor ganas serviks uteri, tumor payudara, tumor getah bening dan
tumor kulit. Tumor ini berasal dari fossa Rosenmuller pada nasofaring yang
merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi epitel
skuamosa.(1,2,3)
Survei
yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1980 secara “pathology
based” mendapatkan angka prevalensi karsinoma nasofaring 4,7 per 100.000
penduduk atau diperkirakan 7000 – 8000 kasus per tahun di seluruh Indonesia.(1)
Diagnosis
dini menentukan prognosis pasien, namun cukup sulit dilakukan, karena
nasofaring tersembunyi di belakang tabir langit dan terletak di bawah dasar
tengkorak serta berhubungan dengan banyak daerah penting di dalam tengkorak dan
ke lateral maupun ke posterior leher. (1,2)
Oleh kerena letak nasofaring tidak
mudah diperiksa oleh mereka yang bukan ahli, seringkali tumor ditemukan
terlambat dan menyebabkan metastasis ke leher lebih sering ditemukan sebagai
gejala pertama.(1,2)
Karsinoma
nasofaring disebut juga sebagai “tumor
kanton “( canton tumor ). Menurut estimasi WHO, sekitar 80% dari karsinoma
nasofaroing didunia terjadi di China. Radioterapi
dikombinasi dengan kemoterapi dapat meningkatkan efektivitas terapi kanker
nasofaring .(1,2)
Penanggulangan
karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan suatu problem, Hal ini
karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak khas serta letak
nasofaring yang tersembunyi, sehingga diagnosis sering terlambat. Pada stadium
dini, radioterapi masih merupakan pengobatan pilihan yang dapat diberikan
secara tunggal dan memberikan angka kesembuhan yang cukup tinggi. Pada stadium
lanjut, diperlukan terapi tambahan kemoterapi yang dikombinasikan dengan
radioterapi.(7)
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1 Anatomi Nasofaring
Nasofaring
terletak di antara basis cranial dan palatum mole, menghubungkan rongga hidung
dan orofaring. Nasofaring terletak di belakang rongga hidung, di atas palatum
molle. Rongga nasofaring menyerupai sebuah kubus yang tidak beraturan, diameter
atas-bawah dan kiri -kanan masing-masing sekitar 3cm, diameter depan belakang
2-3 cm, dapat dibagi menjadi dinding anterior, superior, posterior, inferior
dan 2 dinding lateral yang simetri bilateral. Bila palatum molle diangkat dan
dinding posterior faring ditarik ke depan, seperti waktu menelan, maka
nasofaring tertutup dari orofaring. Nasofaring
mempunyai atap, dasar, dinding anterior, dinding posterior, dan dinding
lateral.(1,2,3)
Dinding
supero-posterior : dinding superior dan posterior bersambung dan miring
membentuk lengkungan, di antara kedua dinding tidak terdapat batas anatomis
yang jelas, maka secara klinis sering disebut sebagai dinding supero–posterior,
yaitu dari batas atas lubang hidung posterior ke posterior, hingga taraf
palatum mole. Lapisan submukosa area itu kaya akan jaringan limfatik
membentuk tonsil faring , di masa anak hyperplasia nyata membentuk adenoid.
Dinding posterior setinggi vertebra servikal 1, kedua sisinya adalah batas
posterior resesus faring.(1,2,3)
Dinding lateral : mencakup (1) pars
anterior tuba timpanofaringeus; (2) area tuba timpanofaringeus, terdapat ostium
faringeus tuba timpanofaringeus (membentuk segitiga, sekitar 1cm dari ujung posterior
konka nasalis inferior) dan torus tubarius di sebelah posterosuperiornya (terbentuk
dari lipatan lempeng kartilago berbentuk segitiga) bersama jaringan ikat di
bawahnya membentuk pars kartilago tuba timpanofaringeus; (3) pars posterior
tuba timpanofaringeus yaitu resesus faringeus (disebut juga fosa rosenmulleri)
terletak disebelah posterosuperior torus tubarius, berhubungan dengan dinding
posterior atap nasofaring. Resesus ini dalamnya sekitar 1cm, membentuk lekukan
berbentuk kerucut .(1,2,3)
Dinding
anterior : Dinding anterior dibentuk oleh apertura nasalis posterior,
dipisahkan oleh pinggir posterior septum nasi. Margin posterior septum nasalis
dan ostium posterior nasalis di kedua sisinya, langsung berhubungan dengan
kavum nasalis .(1,2,3)
Dinding
dasar : dorsum palatum mole dan ismus orofaring di belakangnya. Dasar dibentuk
oleh permukaan atas palatum molle yang miring. Isthmus pharyngeus adalah lubang
di dasar nasofaring di antara pinggir bebas palatum molle dan dinding posterior
faring. Selama menelan, hubungan antara naso dan orofaring tertutup oleh
naiknya palatum molle dan tertariknya dinding posterior faring ke depan.(1,2,3)
Drainase
limfatik : area nasofaring sangat kaya akan saluran limfatik, terutama drainase
ke kelenjar limfe faringeal posterior paravertebral servikal (disebut juga
kelenjar limfe Rouviere, sebagai kelenjar limfe terminal pertama drainase
kanker nasofaring ), kemudian masuk ke kelenjar limfe kelompok profunda
servikal, terutama meliputi (1) rantai kelenjar limfe jugularis interna, (2)
rantai kelenjar nevi asesorius(terletk dalam segitiga posterior leher ), (3)
rantai kelejar limfe arteri dan vena transversalis koli ( di fossa
supraklavikular ).(1,2,3)
Pembuluh darah berasal dari
percabangan level I atau level II arteri karotis eksterna, masing-masing adalah
arteri faringeal asendens, cabang terkecil arteri karotis eksterna; (2) arteri
palatina asendens; (3) arteri faringea, salah satu cabang terminal dari arteri
maksilaris interna; (4) arteri pterigoideus, juga adalah cabang akhir arteri
maksilaris interna .(1,2)
Persarafan : saraf sensorik berasal
dari nervi glosofaringeal dan vagus. Saraf motorik dari nervus vagus,
mempersarafi sebagian otot faring dan palatum mole . (1,2)
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Definisi
Tumor nasofaring adalah tumor
ganas yang tumbuh di daerah nasofaring dengan predileksi di fosa Rossenmuller
dan atap nasofaring . Merupakan tumor daerah kepala dan leher yang terbanyak
ditemukan di Indonesia. Diagnosis dini cukup sulit karena letakya yang
tersembunyi dan berhubungan dengan banyak daerah vital.(1,2)
Tumor
nasofaring juga merupakan tumor ganas di daerah kepala dan leher yang terbanyak
ditemukan di Indonesia. Hampir 60 % tumor ganas kepala dan leher merupakan
karsinoma nasofaring, kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan sinus
paranasal, laring dan tumor ganas rongga mulut, tonsil hipofaring dalam
persentase rendah.(1,2)
Karsinoma
nasofaring disebut juga sebagai “tumor
kanton “( canton tumor ). Karsinoma nasofaring
(KNF) merupakan salah satu bentuk tumor
ganas yang berasal dari sel epitel.(1,2)
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang paling
banyak dijumpai di antara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma
nasofaring termasuk dalam lima besar tumor ganas dengan frekwensi tertinggi,
sedangkan di daerah kepala dan leher menduduki tempat pertama. Tumor ini
berasal dari fossa Rosenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah
transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamosa. (7)
3.2
Epidemiologi
Kanker nasofaring dapat terjadi pada
segala usia, tapi umumya menyerang usia 30-60 tahun, menduduki 75-90% .(1)
1. Sifat endemis menonjol
Kanker nasofaring jarang sekali ditemukan di benua Eropa,
Amerika, maupun Oseania, insidennya umumnya kurang dari 1/ 100.000. Namun
relative sering ditemukan di berbagai Negara Asia Tenggara dan China.(1)
2. Kerentanan suku bangsa atau kelompok
masyarakat tertentu
Insiden kanker nasofaring menunjukkan
perbedaan ras yang mencolok. Dari ketiga ras besar di dunia, sebagian ras
mongoloid merupakan kelompok insiden tinggi kanker nasofaring, di antaranya
mencakup orang China di kawasan Selatan China dan di wilayah Asia Tenggara.(1)
- Fenomena aregasi familial
Keluarga tingkat I kanker nasofaring
memiliki insiden kumulatif kanker nasofaring yang jelas lebih tinggi daripada
silsilah pasangannya, sedangkan tumor tidak tampak perbedaan.(1)
3.3
Etiologi
Terjadinya kanker nasofaring mungkin
multifaktorial, proses karsinogenesisnya mungkin mencakup banyak tahap. Faktor
yang mungkin terkait dengan timbulnya kanker nasofaring adalah : (1)
1. Kerentanan genetik
Walaupun kanker nasofaring tidak termasuk
tumor genetik, tapi kerentanan terhadap kanker nasofaring pada kelompok
masyarakat tertentu relative menonjol dan memiliki fenomena agregasi familial .(1)
2. Virus EB
Metode imunologi membuktikan virus
EB membawa antigen spesifik seperti antigen kapsid virus (VCA), antigen mebran
(MA), antigen dini (EA), antigen nuklir (EBNA) dan lainnya. Virus EB memiliki
kaitan erat dengan kanker nasofaring,
alasanya : (1)
a) Di dalam serum pasien kanker
nasofaring ditemukan antibody terkait
virus EB (ternasuk VCA –IgA, EA-IgA, EBNA, dan lainnya dengan frekuensi positif
rata-rata titer geometriknya jelas lebih tinggi dibandingkan orang normal dan
penderita kanker jenis lain (termasuk kanker kepala leher), dan titernya
berkaitan positif dengan beban tumor. Selain itu titer antibody dapat menurun
bertahap sesuai pulihnya kondisi pasien dan kembali meningkat bila penyakitnya
rekuren atau memburuk.(1)
b) Di dalam sel kanker nasofaring dapat
dideteksi zat petanda virus EB seperti DNA virus dan EBNA.(1)
c) Epitel nasofaring di luar tubuh bila
diinfeksi dengan galur sel mengandung virus EB, ditemukan epitel yang terinfeksi
tersebut tumbuh lebih cepat, gambaran pembelahan inti juga banyak .(1)
d) Dilaporkan virus EB dibawah pengaruh
zat karsinogen tertentu dapat menimbulkan karsinoma tak berdiferensiasi pada
jaringan mukosa nasofaring fetus manusia.(1)
3. Faktor lingkungan
Penelitian akhir-akhir ini menemukan
zat berikut berkaitan dengan timbulnya kanker nasofaring : (1)
a) Golongan nitrosamine : ini dapat menimbulkan
kanker pada hewan. Di antaranya dimetilnitrosamin dan dietilnitrosamin
kandungannya agak tinggi pada ikan asin Guangzhou. Tikus putih yang diberi
pakan ikan asin dapat timbul kanker rongga nasal atau sinus nasal .(1)
b) Hidrokarbon aromatic : pada keluraga
di area insiden tinggi kanker nasofaring, kandungan 3,4 –benzpiren dalam tiap
gram debu asap mencapai 16,83 µg,jelas lebih tinggi dari keluaraga di area
insiden .(1)
c) Unsure renik : nikel sulfat dapat
memacu efek karsinogenesis pada proses timbul nya kanker nasofaring pada tikus
akibat dinitrosopiperazin dosis kecil .(1)
3.4
Gejala Klinis
Gejala karsinoma nasofaring dibagi 4
kelompok yaitu : (1,2)
·
Gejala nasofaring berupa epistaksis ringan atau sumbatan
hidung
·
Gejala telinga berupa tinnitus, rasa tidak nyaman dan rasa
nyeri di telinga
·
Gejala mata berupa diplopia, gejala syaraf berupa neuralgia trigeminal
·
Metastasis ke kelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher
Karsinoma
nasofaring menimbulkan: (7)
1.
Gejala setempat, yaitu gejala hidung
berupa pilek dari satu atau kedua lubang hidung yang terus menerus. Lendir
dapat bercampur darah atau nanah yang berbau. Epistaksis dapat sedikit atau
banyak dan berulang, dapat juga hanya berupa riak campur darah. Obstruksi nasi
unilateral atau bilateral terjadi jika tumor tumbuh secara eksofitik. Gejala
telinga misalkan kurang pendengaran, tinitus atau otitis media purulenta.
2. Gejala
karena tumbuh dan menyebarnya tumor bersifat ekspansif, ke muka tumor tumbuh ke
depan mengisi nasofaring dan menutup koane sehingga timbul gejala obstruksi
nasi. Ke bawah, tumor mendesak palatum mole sehingga terjadi bombans palatum
mole.
Bersifat infiltratif, ke atas melalui foramen ovale masuk ke endokranium, mengenai dura dan timbul sefalgia hebat, kemudian akan mengenai N. VI, terjadi diplopia dan strabismus.
Jika mengenai N. V, terjadi neuralgia trigeminal dengan gejala nyeri kepala hebat pada daerah muka, sekitar mata, hidung, rahang atas, rahang bawah, dan lidah. N. III dan N. IV terjadi ptosis dan oftalmoplegia, pada kasus lanjut tumor akan merusak N. IX, X, XI, XII.
Ke samping tumor masuk spasium parafaring, merusak N. IX, X, sehingga terjadi paresis palatum mole, faring, dan faring dengan gejala regurgitasi makanan minuman ke kavum nasi, rinolalia aperta, dan suara parau. Jika mengenai N. XII, terjadi deviasi lidah ke samping atau gangguan menelan.
Bersifat infiltratif, ke atas melalui foramen ovale masuk ke endokranium, mengenai dura dan timbul sefalgia hebat, kemudian akan mengenai N. VI, terjadi diplopia dan strabismus.
Jika mengenai N. V, terjadi neuralgia trigeminal dengan gejala nyeri kepala hebat pada daerah muka, sekitar mata, hidung, rahang atas, rahang bawah, dan lidah. N. III dan N. IV terjadi ptosis dan oftalmoplegia, pada kasus lanjut tumor akan merusak N. IX, X, XI, XII.
Ke samping tumor masuk spasium parafaring, merusak N. IX, X, sehingga terjadi paresis palatum mole, faring, dan faring dengan gejala regurgitasi makanan minuman ke kavum nasi, rinolalia aperta, dan suara parau. Jika mengenai N. XII, terjadi deviasi lidah ke samping atau gangguan menelan.
3. Gejala
karena metastasis melalui aliran getah bening akan menyebabkan terjadinya
pembesaran kelenjar leher (tumor colli) yang terletak di bawah ujung planum
mastoid, di belakang angulus mandibula, medial dari ujung bagian atas M.
Sternokleidomastoid, bisa unilateral dan bilateral.
4. Gejala
karena metastasis melalui aliran darah meskipun jarang, akan menyebabkan
metastasis jauh yaitu ke hati, paru-paru, ginjal, limpa, tulang dan sebagainya.
Berdasarkan gejala-gejala di atas, pada karsinoma nasofaring perlu dikenali
adanya gejala dini dan gejala lanjut.
Gejala dini dijumpai saat tumor masih tumbuh dalam
batas-batas nasofaring, jadi berupa gejala setempat yang disebabkan oleh tumor
primer (gejala hidung dan gejala telinga seperti disebut di atas). Gejala
lanjut didapat saat tumor telah tumbuh melewati batas nasofaring, baik berupa
metastasis ataupun infiltrasi dari tumor.
3.5
Diagnosis
Diagnosis
karsinoma nasofaring ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang ditemukan, baik
gejala dini maupun lanjut. Pemeriksaan rinoskopi anterior dan posterior
menunjukkan tumor pada nasofaring. Selanjutnya untuk menentukan jenis tumor
perlu dilakukan biopsi dan pemeriksaan patologi. Foto rontgen kepala dan
CT-scan jika perlu dibuat untuk melihat metastasis ke intrakranial. Persoalan diagnosis sudah dapat
dipecahkan dengan pemeriksaan CT scan daerah kepala dan leher, sehingga pada
tumor primer tersembunyi pun tidak akan teralu sulit ditemukan.(1,2)
Diagnosis
pasti ditegakkan dengan melakukan biopsy nasofaring. Biopsi nasofaring
dilakukan dengan 2 cara yaitu dari hidung dan dari mulut. Biopsi dari hidung
dilakukan dengan tanpa melihat jelas tumornya ( blind biopsy ) cunam biopsy
dimasukkan melalui rongga hidung menyelusuri konka madia ke nasofaring kemudian
cunam diarahkan ke lateral dan dilkukan biposi. Biopsi melalui mulut dengan
memakai bantuan kateter melaton yang dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter
yang nerad dalm mulut ditarik keluar dan diklaim bersama-sama ujung kateter
yang dihidung. Demikian juga dengan kateter dari hidung sebelahnya, sehingga
palatum mole tertarik ke atas. Kemudian dengan kaca laring dilhat daerah
nasofairng. Biopsi dilakukan denga melihat tumor melalui kaca tersebut atau
memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut, massa tumor akan
terlihat lebih jelas. Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang
memuaskan maka dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring
dalam narkosis.(1,2)
Pada
pemeriksaan serologi virus Epstein-Barr (EB), parameter rutin yang diperiksa
untuk penapisan kanker nasofaring adalah VCA-IgA, EA-IgA, EBV-DNAse Ab. Hasil
positif pada kanker nasofaring berkaitan dengan kadar dan perubahan antibody
tersebut. Dianggap memiliki resiko tinggi kanker nasofaring jika termasuk salah
satu kondisi berikut ini, yaitu :
-
Titer antibody VCA-IgA ≥ 1:80
-
Dari pemeriksaan VCA-IgA, EA-IgA, dan EBV-DNAse Ab, dua di
antara tiga indikator tersebut positif
-
Dari tiga indikator pemeriksaan di atas, salah satu
menunjukkan titer yang tinggi kontinu atau terus meningkat.
3.5.1 Histopatologi
Telah disetujui oleh WHO hanya 3
bentuk karsinoma (epidermoid ) pada nasofaring yaitu:(1)
·
Karsinoma cell squamosa ( berkeratinisasi )
·
Karsinoma tidak berkeratinisasi
·
Karsinoma tidak berdiferensiasi
3.5.2 Metastase
Nasofaring
merupakan daerah utama untuk karsinoma sel skuamosa, karsinoma yang tidak
berdiferensiasi, adenokarsinoma, dan
limfoma primer. Tumor-tumor ganas pada nasofaring dapat tenang sampai tumor
tersebut mengenai struktur sekitarnya. Terkenanya saraf kranial kelima dapat
menyebabkan nyeri lokal atau nyeri fasial. Jika tumor meluas ke atas dapat
menyebabkan diplopia karena terkena saraf keenam dan saraf kranial ketiga.
Perluasan ke depan menyebabkan obstruksi hidung. Perluasan ke lateral mengenai
tuba eustachius menyebabkan otitis media serosa unilateral dengan tuli telinga
hantaran (konduktif). Metastasis tumor ini ke retrofaring, jugular profunda,
dan kelenjar getah bening asesorius spinal. Pembesaran kelenjar getah bening
yang soliter terletak di posterior dan atas pada leher seringkali merupakan
petunjuk. (3)
Penyebaran atau perluasan
karsinoma nasofaring adalah melalui 3 cara, yaitu : (7)
- Metastase ke jaringan sekitar, bisa ke-3 (tiga) arah :
Ke atas melalui :
·
Langsung ke atas dan merusak basis kranii.
·
Melalui foramen laseratum masuk ke fossa kranii media, dimana foramen
lesseratum terletak 1 cm kranial dari fossa Rosenmulleri. Antara foramen laseratum
dan mukosa tidak terdapat tulang maka tumor dengan mudah dapat melalui foramen
ini masuk ke dalam endokranii.
·
Saraf kranial yang terkena pertama kali adalah N.VI baru kemudian N.V,
N.III dan N.IV sesuai denga topografi daerah sekitar foramen laserum. Tumor
kemudian dapat tumbuh ke depan dan menjadikan tekanan pada fasikulo-optikus,
jaringan tumor akan memasuki orbita lewat fisura orbitalis dan dapat
menyebabkan eksoptalmus.
Ke depan dan bawah, melalui :
·
Kavum nasi ke sinus paranasalis, orbita, dan fossa kranii anterior.
·
Orofaring
Tumor tumbuh ke
depan, melalui koana masuk kavum nasi dan dapat menyebabkan obstruksi. Dengan
melalui osteum-osteum tumor dapat masuk ke dalam sinus maksilaris, sinus
sfeniodalis dan sinus ethmoidalis. Melalui foramen olfaktoria pada lamina
kribosa, tumor masuk fossa kranii frontalis.
Tumor dapat
tumbuh ke bawah depan dan menyusup palatum mole dan merusaknya sehingga uvula
tidak lagi terletak di garis tengah. Tumor mengisi orofaring dan nasofaring
sehingga menyebabkan kesukaran berbicara, bernafas dan menelan makanan
(disfagi).
Ke samping
Tumor akan
masuk ke dalam rongga parafaring. Di dalam rongga ini terdapat N.IX, X, XI, XII
dan ganglion servikalis kranial, sehingga tumor dapat menekan dan merusak
nervus-nervus tersebut.
Tumor dapat
terus menerus tumbuh ke belakang masuk ke dalam foramen jugularis dan kanalis
nervus hipoglosus sampai ke dalam fosa kranii posteior, sehingga N. IX, X, XI
dapat rusak pada saat keluar dari foramen Jugularis dan N.XII rusak saat
melawati kanalis nervus hipoglosus.
Bila kemudian
tumor tumbuh ke depan atas merusak fossa infra temporal, melalui fisura orbita
dan dapat menyebabkan proptosis bulbi.
Tumor meluas ke
belakang merusak fasia koli profunda prevertebralis dan menyusup
prevertebralis.
- Metastase melalui aliran limfatik
Seperti
diketahui aliran limfe dari pleksus submukosa nasofaring menuju kelenjar
Rouveire, kemudian ada yang profunda dan superfisial. Yang profunda menuju ke
kelenjar servikalis profunda, sebagian masuk ke spatium parafaring, dalam hal
ini pasien mengeluh terdapat benjolan pada leher sebagai metastase limfogenik
pada daerah parafaring mengakibatkan pembesaran limfonodi daerah tersebut dan
dapat menekan N.IX, X, XI, XII. Karsinoma nasofaring mengalami metastase
limfogenik pada saat pertama kali diperiksa adalah 80-90% dan kira-kira separuhnya
terdapat metastase bilateral ke limfonodi leher.
- Metastase melalui aliran darah
Metastase tumor
secara hematogenik inilah yang menyebabkan terjadinya metastase jauh. Hal ini
bila terjadi membuat prognosis buruk.
3.5.3 Penggolongan stadium
Untuk menentukan stadium dipakai
system TNM , menurut UICC : (2)
T= tumor primer
To = tidak tampak tumor
T1 = tumor terbatas pada satu
lokalisasi saja ( lateral /posterosuperior / atap dll)
T2 = tumor terdapat pada dua
lokalisasi atau lebih tapi masih terbatas di dalam rongga nasofaring
T3 = tumor telah keluar dari rongga
nasofaring ( rongga hidung atau orofaring )
T4 =
tumor telah keluar dari nasofaring dan telah merusak tulang tengkorak
atau mengenai saraf- saraf otak .
Tx = tumor tidak jelas besarnya
karena pemeriksaan tidak lengkap.
N = pembesaran kelenjar getah bening
regional .
No= tidak ada pembesaran
N1 = terdapat pembesaran tetapi
homolateral dan masih dapt digerakkan
N2= terdapat pembesaran kontralateral /bilateral
dan masih dapat digerakkan
N3 = terdapat pembesaran homolateral
,kontralateral maupun bilateral yang sudah melekat pada jaringan sekitar .
M = Metastasis jauh
Mo= tidak ada metastasis jauh
M1 = terdapat metastasis jauh
-
Stadium
I : T1 N0 M0
-
Stadium
II : T2 N0 M0
-
Stadium
III : T1,T2,T3 N1 M0 atau T3
N0 M0
-
Stadium IV
Stadium
IVA : T4-N0, 1, 2-M0
Stadium
IVB : Any T-N3-M0
Stadium
IVC : Any T- Any N-M1
3.6 Penatalaksanaan
1.
Radioterapi
Sampai
saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam penatalaksanaan
karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma nasofaring adalah
radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.
Terapi terhadap kanker nasofaring berprinsip pada individualisasi dan
tingkat keparahan. Pasien stadium I/II dengan radioterapi eksternal sederhana
ditambah brakiterapi kavum nasofaring. Pasien stadium III/IV dengan kombinasi
radioterapi dan kemoterapi. Pasien dengan metastasis jauh harus bertumpu pada
kemoterapi dan radioterapi paliatif. (1,7)
2.
Kemoterapi
Kemoterapi
sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata dapat meningkatkan
hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada keadaan kambuh.
Kemoterapi meliputi kemoterapi neoadjuvan, kemoterapi adjuvant dan kemoterapi
konkomitan. (1,7)
3.
Operasi
Tindakan
operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher radikal dan
nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca
radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah
dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan serologi.
Nasofaringektomi merupakan suatu operasi paliatif yang dilakukan pada
kasus-kasus yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring yang tidak berhasil
diterapi dengan cara lain.
4. Imunoterapi
Dengan
diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring adalah virus
Epstein-Barr, maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat diberikan
imunoterapi.
Radioterapi
Radioterapi
adalah metode pengobatan penyakit-penyakit maligna dengan menggunakan sinar
peng-ion. Bertujuan untuk mematikan sel-sel tumor sebanyak mungkin dan
memelihara jaringan sehat di sekitar tumor agar tidak menderita kerusakan
terlalu berat. Karsinoma nasofaring bersifat radioresponsif sehingga radioterapi
tetap merupakan terapi terpenting. Radiasi pada jaringan dapat menimbulkan
ionisasi air dan elektrolit dari cairan tubuh baik intra maupun ekstra seluler,
sehingga timbul ion H+ dan OH- yang sangat reaktif. Ion itu dapat bereaksi
dengan molekul DNA dalam kromosom, sehingga dapat terjadi : (7)
1.
Rantai ganda DNA pecah
2.
Perubahan cross-linkage dalam rantai DNA
3.
Perubahan base yang menyebabkan degenerasi atau kematian sel.
Dosis
lethal dan kemampuan reparasi kerusakan pada sel-sel kanker lebih rendah dari
sel-sel normal, sehingga akibat radiasi sel-sel kanker lebih banyak yang mati dan
yang tetap rusak dibandingkan dengan sel-sel normal. Sel-sel yang masih tahan
hidup akan mengadakan reparasi kerusakan DNA-nya sendiri-sendiri. Kemampuan
reparasi DNA sel normal lebih baik dan lebih cepat dari sel kanker. Keadaan ini
dipakai sebagai dasar untuk radioterapi pada kanker. Pada kongres Radiologi
Internasional ke VIII tahun 1953, ditetapkan RAD (Radiation Absorbed Dose)
sebagai banyaknya energi yang di serap per unit jaringan. Saat ini unit Sistem
Internasional ( SI ) dari dosis yang di absorpsi telah diubah menjadi Gray (Gy)
dan satuan yang sering dipakai adalah satuan centi gray (cGy).(7)
1
Gy = 100 rad
1
rad = 1 cGy = 10-2 Gy.
Hasil
pengobatan yang dinyatakan dalam angka respons terhadap penyinaran sangat
tergantung pada stadium tumor. Makin lanjut stadium tumor, makin berkurang
responsnya. Untuk stadium I dan II, diperoleh respons komplit 80% - 100% dengan
terapi radiasi. Sedangkan stadium III dan IV, ditemukan angka kegagalan respons
lokal dan metastasis jauh yang tinggi, yaitu 50% - 80%. Angka ketahanan hidup
penderita karsinoma nasofaring tergantung beberapa faktor, diantaranya yang
terpenting adalah stadium penyakit.(7)
Qin
dkk, melaporkan angka harapan hidup rata-rata 5 tahun dari 1379 penderita yang
diberikan terapi radiasi adalah 86%, 59%, 49% dan 29% pada stadium I, II, III
dan IV.(7)
a.
Persiapan / perencanaan sebelum radioterapi
Sebelum
diberi terapi radiasi, dibuat penentuan stadium klinik, diagnosis histopatologik,
sekaligus ditentukan tujuan radiasi, kuratif atau paliatif. Penderita juga
dipersiapkan secara mental dan fisik. Pada penderita, bila perlu juga keluarganya
diberikan penerangan mengenai perlunya tindakan ini, tujuan pengobatan, efek
samping yang mungkin timbul selama periode pengobatan. Pemeriksaan fisik dan
laboratorium sebelum radiasi dimulai adalah mutlak. Penderita dengan keadaan
umum yang buruk, gizi kurang atau demam tidak diperbolehkan untuk radiasi,
kecuali pada keadaan yang mengancam hidup penderita, seperti obstruksi jalan
makanan, perdarahan yang masif dari tumor, radiasi tetap dimulai sambil
memperbaiki keadaan umum penderita. Sebagai tolok ukur, kadar Hb tidak boleh
kurang dari 10 gr%, jumlah lekosit tidak boleh kurang dari 3000 per mm3 dan trombosit
100.000 per uL.(7)
b.
Penentuan batas-batas lapangan radiasi
Tindakan
ini merupakan salah satu langkah yang terpenting untuk menjamin berhasilnya
suatu radioterapi. Lapangan penyinaran meliputi daerah tumor primer dan
sekitarnya / potensi penjalaran perkontinuitatum serta kelenjar-kelenjar getah
bening
regional.(7)
Untuk
tumor stadium I dan II, daerah-daerah dibawah ini harus disinari :(7)
1.
Seluruh nasofaring
2.
Seluruh sfenoid dan basis oksiput
3.
Sinus kavernosus
4.
Basis kranii, minimal luasnya 7 cm2 meliputi foramen ovale, kanalis karotikus
dan foramen jugularis lateral.
5.
Setengah belakang kavum nasi
6.
Sinus etmoid posterior
7.
1/3 posterior orbit
8.
1/3 posterior sinus maksila
9.
Fossa pterygoidea
10.
Dinding lateral dan posterior faring setinggi fossa midtonsilar
11.
Kelenjar retrofaringeal
12.
Kelenjar servikalis bilateral termasuk jugular posterior, spinal aksesori dan
supraklavikular.
Apabila
ada perluasan ke kavum nasi atau orofaring ( T3 ) seluruh kavum nasi dan orofaring
harus dimasukkan dalam lapangan radiasi. Apabila perluasan melalui dasar tengkorak
sudah mencapai rongga kranial, batas atas dari lapangan radiasi terletak di
atas fossa pituitary. Apabila penyebaran tumor sampai pada sinus etmoid dan maksila
atau orbit, seluruh sinus atau orbit harus disinari. Kelenjar limfe sub mental dan
oksipital secara rutin tidak termasuk, kecuali apabila ditemukan limfadenopati servikal
yang masif atau apabila ada metastase ke kelenjar sub maksila.(7)
Secara
garis besar, batas-batas lapangan penyinaran adalah (7)
-
Batas atas : meliputi basis kranii, sella tursika
masuk dalam lapangan radiasi.
-
Batas depan : terletak dibelakang bola mata dan koana.
-
Batas belakang : tepat
dibelakang meatus akustikus eksterna, kecuali bila terdapat pembesaran kelenjar
maka batas belakang harus terletak 1 cm di belakang kelenjar yang teraba.
-
Batas bawah : terletak
pada tepi atas kartilago tiroidea, batas ini berubah bila didapatkan pembesaran
kelenjar leher, yaitu 1 cm lebih rendah dari kelenjar yang teraba. Lapangan ini
mendapat radiasi dari kiri dan kanan penderita.
Pada
penderita dengan kelenjar leher yang sangat besar sehingga metode radiasi di
atas tidak dapat dilakukan, maka radiasi diberikan dengan lapangan depan dan
belakang. Batas atas mencakup seluruh basis kranii. Batas bawah adalah tepi
bawah klavikula, batas kiri dan kanan adalah 2/3 distal klavikula atau
mengikuti besarnya kelenjar. Kelenjar supra klavikula serta leher bagian bawah
mendapat radiasi dari lapangan depan, batas atas lapangan radiasi ini berhimpit
dengan batas bawah lapangan radiasi untuk tumor primer.(7)
3.7 Gambaran
Radiologis
Foto polos
Ada beberapa posisi dengan
foto polos yang perlu dibuat dalam mencari kemungkinan adanya tumor pada daerah
nasofaring yaitu : (7)
-
Posisi Lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak (soft tissue
technique)
-
Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks
-
Tomogram Lateral daerah nasofaring
-
Tomogram Antero-posterior daerah nasofaring
Foto polos nasofaring normal
Computer
Tomografi (CT) Planning/CT Scan
Pemeriksaan CT Scan, mempunyai
makna klinis dimana aplikasinya adalah membantu diagnosis, memastikan luas
lesi, penetapan stadium secara akurat menetapkan zona target terapi dan
merancang medan radiasi secara tepat, serta memonitor kondisi remisi tumor
pasca terapi dan pemeriksaan lanjut. (1)
Pemeriksaan CT Scan dilakukan untuk
: (4)
1. Mengetahui metastase ke organ
lain, hal ini penting untuk menentukan tingkatan staging sehingga dapat
dipilih penatalaksanaan yang tepat.
2. Mengetahui apakah tumor sudah
mengecil setelah pemberian kemoterapi, dilakukan pemeriksaan setelah 4–6 minggu
setelah pemberian kemoterapi.
3.
Mendeteksi rekurensi, dilakukan pemeriksaan setiap 5 tahun.
CT
Scan dapat digunakan untuk melihat mengetahui keberadaan tumor sehingga tumor
primer yang tersembunyi pun akan ditemukan. CT scan juga dapat melihat staging
dan bisa melihat konsistensi daripada tulang.(4)
CT Contrast-Enhanced menunjukan
nasopharyngeal carcinoma dengan perluasan parapharyngeal kanan dan
retropharyngeal adenopathy. (5,6)
CT
Scan Nonenhanced (pandangan coronal) menunjukkan bagian yang menebal pada dinding
parapharyngeal kanan.
(5,6)
Potongan Axial CT Scan menunjukkan KNF: A.Sebelum
Nasofaringektomi B. Setelah Nasofaringektomi. (5,6)
A
B
A.
CT scan axial contrast-enhanced pada tingkatan nasopharynx menunjukkan
suatu massa di dalam fossa pterygoid yang menutup nasofaring kanan. Terdapat
erosi dari pterygoid pada bagian kanan dan juga menutup tuba eustachius dan
bagian posterior sinus maksilaris kanan. (5,6)
B.
CT scan axial contrast-enhanced pada leher memperlihatkan massa dengan
ukuran 3,3x2,6 cm, bulat, homogen yang meningkat, dengan lesi solid di leher
kanan bagian posterior ke kelenjar submandibular. (5,6)
.
CT-scan dengan kontras pada leher
menunjukkan massa yang besar dengan berbagai ukuran atau tingkatan pada nasofaring,
dan meluas ke clivus dan turun ke C1 anterior. (4)
Massa besar pada tengah sinus sphenoid
dengan destruksi tulang. Massa kelihatan seolah-olah terkikis atau terjadi
erosi melalui clivus dan ke dalam fossa pituitary. (4)
MRI
Pemeriksaan MRI memiliki resolusi
yang baik terhadap jaringan lunak, dapat serentak membuat potongan melintang,
sagital, koronal, sehingga lebih baik dari CT. MRI selain dengan jelas
memperlihatkan lapisan struktur nasofaring dan luas lesi, juga dapat secara
lebih dini menunjukkan infiltrasi ke tulang. Dalam membedakan antara fibrosis
pasca radioterapi dan rekurensi tumor, MRI juga lebih bermanfaat.
MRI T1-Weighted Nonenhanced menunjukkan
kanker nasoparyng yang mendesak ke sisi sebelah kiri clivus. Intensitas dari sumsum tulang belakang hilang pada sisi kiri clivus
dibandingkan dengan sebelah kanan.(5,6)
MRI T1-Weighted Gadolinium-enhanced
axial menunjukkan kanker/tumor
nasopharyngeal dengan keterlibatan parapharingeal kiri (5,6)
MRI T1-Weighted Coronal gadolinium-enhanced
menunjukkan kanker nasopharyngeal disertai keterlibatan dan perluasan ke parapharyngeal
kiri ( pasien sama seperti di gambaran yang sebelumnya) (5,6)
Gambaran T2-weighted axial menunjukkan
nodul servical bagian kiri dari
metastasis kanker nasoparing
(5.6)
MRI Coronal T2-weighted menunjukkan gambaran
metastasis dari kanker nasopharingel pada
bagian kiri nodul servical (5,6)
Male,
65 years. 9 month history of progressive worsening facial pain with right sided
numbness, noted to have fullness in the right nasopharynx (4)
Selected
images demonstrates a poorly defined mass involving the right side of the
nasopharynx, with increased T2 and enhancement. It is associated with fluid in
the mastoid air cells(4)
DAFTAR PUSTAKA
1. Japaris,
Willie. Karsinoma Nasofaring Dalam:
Onkologi Klinis. Jakarta : FKUI. 2008. Hal : 263-278
2. Roezin
A, Syafril A. Karsinoma Nasofaring
Dalam : Arsyad Efiaty, Iskandar Nurbaety. Telinga Hidung Tenggorok Kepala
Leher. Jakarta : FKUI. 1990. Hal : 146-150
3. Adams,
George L. Penyakit – penyakit Nasofaring
dan Orofaring Dalam: Adams, Boies, Higler. BOIES BUKU AJAR PENYAKIT THT
EDISI : 6.Jakarta : EGC. 2002. Hal : 320-327; 442-443
4.
Radswiki
; Gaillard, Frank. Nasopharyngeal Cacinoma.
Diunduh
dari : http://radiopaedia.org/articles/nasopharyngeal-carcinoma#
5.
Paulino,
Arnold C ; Arceci, Robert J. Nasopharyngeal
Cancer. Diunduh dari : http://emedicine.medscape.com/article/988165-workup#showall (2012)
6.
Lo
, Simon S ; Naul, L Gill. Imaging in
Nasopharyngeal Squamous Cell Carcinoma. Diunduh
dari : http://emedicine.medscape.com/article/384425-overview#showall (2011)
7.
Asroel, Harry A.
Penatalaksanaan Radioterapi Pada Karsinoma Nasofaring.
Diunduh
dari : http://library.usu.ac.id/download/fk/tht-hary2.pdf (2002)
8. Prokop.
Mathias, Galanski Michael. Nasopharyngeal
Carcinomas Dalam : Computed Tomography Of The Body. New York : Thieme. 2003.
Hal: 252-256