Selasa, 10 Juli 2012

Bronchitis Obstruktif

Asma bronchial merupakan penyakit yang bisa menimbulkan rentetan penyakit lain yang sama namun berbeda jenis. Misalnya bronchitis kronik bisa mengakibatkan timbulnya bronchitis obstruktif dengan emfisema disertai kegagalan pertukaran udara pernapasan (PPOM/ Penyakit Paru Obstruktif Menahun). Hampir 90 % penderita adalah laki-laki, perokok, dan usia lanjut. Penyebabnya adalah terjadinya iritasi yang berlangsung secara terus-menerus pada bronkus, karena menghisap rokok.
Iritasi mukosa bornkus akan membentuk lendir yang menumpuk, akibat kurangnya fungsi gerak silia. Hal ini menyebabkan timbulnya infeksi bakteri yang kemudian menarik leukosit. Selanjutnya, leukosit akan mengeluarkan enzim yang merusak jaringan elastis paru. Dampak dari hilangnya jaringan elastis paru ini sangat besar.
Pada orang pada sehat, bronkus akan tetap terbuka oleh tarikan jaringan elastis paru. Pada waktu inspirasi, rongga dada mengembang dan diafragma menurun, bronkud akan melebar dan udara mengalir dengan cepat. Pada bronkoskopi akan tampak bronki melebar waktu inspirasi. Pada bronchitis kronik, jaringan paru dan jaringan elastis menghilang. Selama inspirasi, udara akan mengalir ke dalam bronkus yang melebar. Sedangkan waktu ekspirasi, pipa bronkus akan lebih sempit tetapi masih terbuka. Pada inspirasi banyak bronkus-bronkus kecil yang tidak dapat membuka akibat melemahnya jaringan elastis, sehingga lama kelamaan akan terjadi kolaps. Udara tidak dapat keluar dari alveoli atau terperangkap. Akibatnya, sebagian alveolus paru-paru tidak lagi turut dalam proses pernapasan (ventilasi) . Sementara, darah tetap akan mengalir melalui bagian tersebut, tetapi tidak lagi mengambil oksigen. Pada akhirnya, timbulnya hipoksia dan sianosis. Dan terdapat penumpikan CO2 dalam darah serta asidosis respiratorik (asidosis asam karbonat).
Pada saat seperti ini, penderita akan tetap mencoba membuka pipa bronkus selama ekspirasi dengan membusungkan dada selama bernapas. Dan, biasanya penderita akan senantiasa menggunakan otot-otot pernapasan pembantu untuk memudahkan saat bernapas. Padahal, mereka hanya mempunyai cadangan ventilasi pernapasan yang rendah dan bila terjadi serangan bronchitis bakterial, akan timbul kegagalan pernapasan dengan PO2 yang rendah dan PCO2 yang tinggi. Asidosis respiratorik mungkin akan sangat berat dan dapat menyebabkan koma. Hal inilah yang perlu diwaspadai oleh penderita dan dokter khususnya. Sebab kondisi seperti ini dibutuhkan keseriusan ekstra keras.
Sedangkan pada kondisi hipoksia berat, sentral pernapasan berada di medulla oblongata yang mengalami kerusakan serta tidak bereaksi lagi terhadap peninggian CO2. Peninggian CO2 yang biasanya juga diikuti dengan meningkatnya frekuensi pernapasan ini, bahkan sampai batas yang membahayakan bagi penderita sendiri. Dan tubuh memiliki fungsi pertahanan. Apabila terjadi gannguan atau tidak berfungsinya sentral pernapasan, maka secara otomatis pernapasan dikendalikan oleh glomus karotikum, suatu organ kecil yang terletak pada biforkasi carutis manusia, namun dalam praktiknya hal ini tidak selalu berhasil, sebab bagaimanapun juga, organ ini hanya bereaksi terhadap keadaan hipoksia dan tidak terhadap C02, sehingga pernapasan akan menjadi terasa lebih dalam lagi.
Selama penanganan dokter terhadap penanggulangan penyakit ini, ada dua kesalahan biasanya terjadi, yaitu :
a. Jika penderita ini diberi oksigen, glomus tidak mengalami hipoksia lagi dan dengan segera akan kehilangan pengaruh terhadap pernapasan. Hal demikian ini justru akan membunuh penderita secara langsung. Maka dari itu, saat pemberian oksigen pada pasien yang mengalami gangguan seperti ini, haruslah hati-hati dan waspada. Harus memperhatikan dan pelajari dengan benar dan tepat kondisi penderita.
b. Pemberian morfin pada penderita jantung dengan dispnea berat memang sangat baik, karena dapat membuat keadaan penderita menjadi membaik dengan cepat. Akan tetapi, kesalahan dapat terjadi apabila morfin diberikan kepada penderita dispnea berat, akibat penyakit paru obstruktif menahun. Glomus karotikumnya akan mengalami paralysis, sehingga akan berakibat fatal karena apnea. Banyak pernderita penyakit paru obstruktif yang meninggal tiba-tiba akibat kurangnya pengetahuan dokter yang merawatnya.
Secara umum, hipoksia mempunyai banyak bahaya. Hipoksia dapat meninggikan tekanan darah dalam arteri pulmonalis karena arteri pulmonalis akan mengalami konstriksi. Karena dinding jantung kanan tipis dan lemah, maka timbullah gagal jantung kanan dengan peninggian tekanan vena, pembesaran hati serta edema. Terkadang, teraba juga pulsasi jantung kanan pada batas kiri sternum serta di daerah epigastrium. Irama gallop di atas ventrikel akan disertai bunyi yang sangat keras.
Faktor yang ikut membantu di samping vasokonstriksi arteriol paru adalah banyaknya cabang-cabang pulmonal yang hilang sebagai akibat hilangnya dinding alveoli pada emfisema. Curah jantung total yang besarnya 4,5 per menit atau lebih ini harus melalui jaringan pembuluh paru-paru yang sangat mengembang dan akan menutupi jantung, sehingga auskultasi jantung menjadi sangat sulit.
Jadi, hipertensi pulmonal ada dua faktor yang paling berpengaruh yaitu obstruksi bronkus dengan hipoventilasi dan anoksia, serta lenyapnya dinding alveolus (emfisema) yang disertai hilangnya jaringan pembuluh darah dan berkurangnya luas lapangan pernapasan pada jantung, hingga kemudian menjadikan sesak napa.
Tidak semua kasus faktor emfisema berperan dari faktor bronchitis obstruktif. Penderita yang mengalami dispnea, sering mencoba mempertinggi tekanan di dalam saluran bronkusnya selama pernapasan dengan jalan menghembuskan udara melalui bibir yang hampir terkancing, sehingga kadar oksigen dan CO2 dalam arteri pulmonal. Penderita-penderita seperti ini bukanlah pecandu rokok. Sindrom penyakit paru obstruktif menhaun ini merupakan penyakit yang timbul secara lambat dan progressif dan baru terlihat setelah bertahun-tahun lamanya.
Pada kondisi orang sehat, jumlah udara yang dapat dihembuskan dengan pernapasan cepat dan dipaksa dalam 1 detik (FEV1 = Forcefull expiration in one second), berkurang secara perlahan seiring dengan bertambahnya umur (25 cc/tahun). Berkurangnya FEV1 pada PPOM jauh lebih besar yaitu 100 cc/taahun, yang terjadi pada mereka yang secara terus-menerus merokok.
Pada orang sehat, nilai FEV1 kurang lebih 3.500 cc. Apabila terjadii penurunan hingga menjadi 1.200 cc, maka akan terjadi dispnea berat pada waktu bekerja. Apabila penurunan ini semakin bertambah, bahkan mendekati drastis dengan jumlah menjadi 500 cc, maka secara eoritis bisa dipastikan bahwa penderita hanya mampu bertahan hidup untuk beberapa tahun saja.
Pengobatan
- Bila terdapat komponen asma (mengi atau eosinofil dalam sputum) harus diobati.
- Obati infeksi bakteri secepat mungkin.
- Gagal jantung kronik pada cor-pulmonale harus diobati dengan diuretik. Tekanan arteri pulmonalis juga dapat diturunkan dengan menggunakan oksigen pada malam hari.
- Hentikan merokok.
- Bila tindakan-tindakan tersebut tidak menolong, berikan prednison.
- Ahli fisioterapi dapat menerangkan pada penderita bahwa melakukan ekspirasi dalam dan lambat dengan mencibirkan bibir akan jauh lebih baik dari pernapsan dangkal yang tidak terarah.
- Tempat dengan ketinggian di atas 1.000 m tidak dapat ditolerir, jadi berlibur atau pergi ke daerah pegunungan harus dicegah dan bila bepergian dengan pesawat udara perlu oksigen tambahan.
- Pada kegagalan akut dengan retensi CO2, harus diberikan perawatan intensif dengan cairan intravena yang berisi aminophyllin dosis tinggi dan hydrocortisone, ditambah salbutamol.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar