Dan untuk kesekian kalinya dia berusaha untuk memancingku untuk berbicara, “ Ada apa denganmu Ta? Sejak tadi Uda perhatikan kamu hanya diam saja, katanya mau membeli buku tentang kesehatan kandungan, tapi mengapa kamu hanya berdiri diam? Kamu marah sama Uda? Uda ada salah ya?” Sejenak tidak ada respon dariku yang tetap saja diam, dan namanya juga masih penasaran dengan tingkahku, dia tidak putus asa dan mengulang untuk bertanya lagi. “ Kamu sakit Ta?” Aku hanya menggeleng dan menatap dia penuh arti, seraya berkata dalam hati “ Maafkan aku Da, pasti ini keputusan yang berat bagimu, meskipun kita udah saling sayang dan mencintai, tapi ini pasti jadi bahan pertimbanganmu untuk menikahiku. Aku malu padamu nantinya tidak bisa memberikan keturunan”. Kalimat itu tidak bisa terucapkan olehku karena terkalahkan oleh perasaan bersalah. Yang ada hanya air mata yang mengalir hangat di pipiku di malam yang dingin itu. Melihat aku menangis, dia langsung memegang bahuku dan seraya berkata, “ Ta, Uda tidak memaksa kamu untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi, tapi Uda tidak tega melihatmu menangis dan menyimpan semua masalah sendiri. Kita ini sudah hampir menikah, sebentar lagi akan menjadi suami- istri dan menjadi ayah dan bunda untuk anak-anak kita nantinya. Apa yang menjadi masalahmu, pasti itu menjadi masalah Uda juga. Pasti kamu mengerti apa yang Uda katakan Ta”. Melihat keyakinan dan kesungguhan Uda untuk menikahi aku dan mendengar kata “anak” yang terlontarkan dari perkataan dia, tambah miris dan sedih rasanya. Air mataku semakin mengalir deras dan aku terisak. Melihat aku terisak, spontan Uda memelukku untuk menenangkanku. Tanpa menghiraukan semua pandangan orang-orang yang berada dalam toko buku itu, Uda masih memelukku dan tangisku semakin menjadi. Aku tidak tahu untuk memulai pembicaraan masalah ini. Keputusanku untuk membatalkan pernikahan sangat bertolak belakang dengan rasa sayang dan cintaku. Masih dalam tangisku, dia berkata, “ Sekarang sudah jam 10 malam, toko buku ini mau tutup sebentar lagi, mari kita pulang. Tenangkan pikiranmu dulu dan jika memungkinkan kamu ingin bercerita dengan Uda, pasti Uda dengarkan dengan baik. Kami pun beranjak dari toko buku tersebut dan menuju parkiran. Sewaktu menutup pintu toko buku itu, aku memberanikan diri untuk berkata “ Uda, maafkan aku, pernikahan kita sebaiknya dibatalkan saja”. Dentuman pintu yang tertutup itupun mengalahkan terkejutnya Uda saat mendengar perkataanku. Terlihat dari raut wajahnya yang terkejut dan tidak percaya sama sekali dengan perkataanku. Genggaman tangannya semakin kuat aku rasakan saat itu. Aku masih terus menangis dan ingin berlari ke parkiran. Tapi terhahan oleh genggaman tangannya yang sangat kuat. “ Ta, ada apa denganmu Ta? Mengapa kamu berbicara seperti itu? Jangan main-main dengan perkataanmu Ta” ujarnya serius. Dan aku hanya bisa menangis, memberontak melepaskan tanganku dari genggamannya. Aku berlari ke parkiran dan dia mengejarku di tengah hujan deras yang turun lagi sejak keluar dari toko buku. Mobil kami diparkir lumayan jauh dari toko dan terang saja kami seperti kucing dan anjing yang saling berkejaran ditengah hujan deras, tidak mempedulikan perhatian orang-orang di pinggiran toko buku yang sejak tadi menunggu berteduh. Mereka hanya melihat seolah menyaksikan drama korea di tengah hujan. Tanganku dapat dipegangnya kembali seraya memegang bahuku di tengah hujan deras, “ Ta, Uda tidak mengerti perkataanmu tadi dan tolong jelaskan”. Melihat ketegasan matanya yang menandakan bahwa dia marah dan tidak mau dengan ketidakpastian ini, akhirnya di tengah hujan deras itu aku langsung berkata apa yang sebenarnya terjadi. “ Uda, kemaren siang Aku ke dokter tempat kita melakukan pemeriksaan kesehatan reproduksi, dari hasil laboratorium mengenai kandunganku yang ada bermasalah seperti dokter katakan sewaktu kita melakukan pemeriksaan kemaren, Aku didiagnosa terkena tumor rahim. Dokter berkata kemungkinan untuk punya anak sangat kecil, karena jika hamil pasti akan mengancam kesehatanku, dan ini perlu pengobatan dan terapi yang panjang jika memang ingin punya anak. Jika tidak mau mengambil resiko, maka rahimku akan diangkat dan pastinya seumur hidup Aku tidak akan bisa mengandung anak dan tidak bisa memberikan keturunan kepada Uda. Aku malu dan merasa bersalah padamu, Aku tidak mau Uda kecewa nantinya karena Aku tidak bisa punya anak. Aku malu pada keluarga, Aku malu dan Aku takut Da,,, Aku...” Tak sanggup lagi rasanya melanjutkan penjelasan ini, terasa pedih dan sedih sekali. “ Ta.. mengapa kamu berpikiran seperti itu dan mengambil keputusan seperti itu. Kamu gegabah dan Uda mengerti posisimu sekarang sepeti apa, tapi apa pun yang terjadi sama kamu, kita akan berusaha keras untuk menyembuhkan penyakitmu sayang. Jangan ada ketakutan-ketakutan seperti yang kamu jelaskan itu, semua sudah diatur oleh tuhan. Yang terpenting setelah kita menikah nanti, kita terus berusaha menyembuhkan penyakitmu, kita cari dokter yang hebat yang bisa membantu menyembuhkan penyakitmu. Jangan takut dengan masalah anak, anak itu pemberian tuhan dan jika tuhan menakdirkan kita tidak punya anak, maka kita akan adopsi anak. Tapi jika takdir tuhan berkata lain, pasti kita mempunyai anak-anak yang manis, shaleh dan insyaAllah bisa menjadi presiden nantinya. Jangan takut akan hal ini sayang, yang terpenting kita berusaha semaksimal mungkin untuk berobat, pasti ada tangan tuhan di dalamnya yang akan membantu kita, percayalah itu. Keluarga kita pasti mengerti dan mendo’akan kesembuhanmu Ta. Uda memutuskan menikah denganmu karena ingin hidup bahagia selalu di sampingmu sampai akhir hayat. Uda sayang dan cinta kamu Ta, jadi Uda tidak mau mendengar kata-kata batal nikah. Jangan seperti anak kecil yang langsung takut atas vonisan yang belum tentu buruk akhirnya. Percayalah bahwa rencana tuhan itu indah, tuhan memberi cobaan ini agar kita makin kuat dan kokoh dalam hubungan ini. Kamu mengerti kan Ta?” Mendengar semua penjelasan dia saat itu seperti ada cahaya yang sangat terang dalam gelap gulitanya dunia yang aku rasakan. Damai dan tenang aku rasakan saat mendengarkan penjelasannya. Isak tangisku mereda dan dalam tatapan teduhnya itu semakin menguatkan aku dalam cobaan itu. Sifat inilah yang membuatku nyaman dengannya, sifatnya yang tenang, dewasa dan bijak inilah yang membuat hubungan kami langgeng hingga sampai pada titik ini. Dalam tatapannya yang teduh, tergurat senyumannya yang mengisyaratkan sayang yang besar padaku. Aku langsung memeluknya “ Uda tidak kecewa denganku? Uda tidak marah denganku” tanyaku untuk memastikan penjelasannya tadi. “ Uda tidak kecewa dan tidak pernah marah padamu Ta, justru dengan sifat kekanak-kanakanmu yang buat Uda kesal. Jadi kalau ada masalah, cerita secara jujur pada Uda, jangan di simpan” sambil memandangku dia tersenyum lebar. “ Ayo kita pulang, baju kita sudah basah semua, nanti kamu sakit” ajak Uda dan kami berlari ke mobil. Dan alam pun seperti merasakan apa yang sedang terjadi pada kami, hujan berhenti dan tinggal rinai-rinai yang menemani kami dalam perjalanan pulang. Hari pernikahan itu tiba, dengan memakai pakaian adat asli minang, kami bersanding di pelaminan. Semua keluarga tampak bahagia terutama Uda yang selalu tersenyum sumringah menyambut tamu-tamu yang datang. Semua permasalahan sudah dibicarakan dalam keluarga dan semua keluarga memahami kondisi itu. Aku sangat bersyukur mempunyai suami dan keluarga seperti mereka. Ada perasaan tenang dan aku bahagia melihat dia tersenyum seperti tanpa beban. Aku sudah berjanji tidak akan sedih dan harus kuat menjalani semunya bersamanya, berjalan menapaki rumah tangga dengannya. Hari bahagia itu berjalan lancar dan penuh kebahagiaan dan canda tawa. Hari-hari berikutnya, kami menjalani biduk rumah tangga dengan harmonis dan bahagia. Semua kegiatan rumah tangga dapat aku lakukan dengan baik sebagai seorang istri. Tugas dan kewajiban seorang istri aku lakukan dengan baik dan sepenuh hati, melayani suami dan membuat suami ridho atas diriku adalah kebahagiaan yang luar biasa. Aku sangat bersyukur pada tuhan. Semua rutinitas berjalan lancar, aku yang bekerja di salah satu bank swasta masih terus bekerja dan suamiku yang bekerja sebagai konsultan di sebuah perusahaan semakin giat bekerja dan alhamdulillah karirnya semakin menanjak. Begitupun dengan pengobatan yang terus kami usahakan. Setiap bulannya aku dan Uda yang sudah menjadi suamiku itu pergi ke dokter spesialis kandungan untuk memeriksakan kesehatan rahimku. Berjalan 3 tahun usia perkawinan kami, pagi itu ketika ingin sarapan pagi menjelang berangkat kerja, aku marasakan mual dan ingin muntah. Karena dianggap biasa saja, akhirnya aku pergi berangkat kerja juga, namun siangnya kepalaku pusing dan ingin pingsan. Aku kuatkan saja hingga sampai sorenya pulang kerja. Aku merasa pusingnya tidak hilang dan masih ada mual-mual, maka sepulang kerja aku langsung ke dokter kandunganku untuk melakukan pemeriksaan kesehatan rahimku. Setelah dilakukukan pemeriksaan, dokterpun tersenyum padaku dan memberi selamat kepadaku. Dia mengatakan bahwa aku hamil. Aku merasa senang sekali dan mengucapkan syukur alhamdulillah mendengarnya “ Tapi bagaimana dengan kondisi kesehatan Aku nantinya pada saat hamil, Dok?” tanyaku sedikit khawatir. “ Kandunganmu akan terus dipantau agar tetap sehat ” jawab dokter dengan singkat. Dan aku buru-buru pulang ke rumah memberi kabar gembira pada suami dan keluargaku. Setiba di rumah aku langsung masuk rumah dan menemui Mamaku yang kebetulan nginap beberapa hari di rumah. Mama sangat senang sekali dan memelukku seraya berkata “ Alhamdulillah sayang, rencana tuhan itu indah, semua cobaan harus dihadapi dengan ikhlas dan terus berusaha, maka inilah jawaban tuhan, dia memberimu hadiah indah” seru Mama. “ Alhamdulillah Ma, oya Ma, tadi Tata nelpon Uda, katanya bentar lagi pulang. Dia belum Tata kasih tahu Ma, biar nanti kasih kejutan saja”. “ Iya deh” seru Mama sambil tersenyum sumringah. Usai Maghrib, suamiku nyampai rumah. Ketika itu aku baru selesai shalat maghrib dan langsung menyambutnya dengan mencium tangannya seraya berkata “ Uda, alhamdulillah Tata hamil, tadi sepulang kerja Aku ke dokter kita dan setelah diperiksa katanya aku hamil” senyumku melebar setelah menekankan kata hamil di akhir kalimat. Tanpa disangka suamiku langsung sujud syukur mendengar kalau aku hamil, dia menangis bahagia dan langsung memelukku. “ Alhamdulillah ya Allah, engkau mendengar do’a-do’a kami dan memberi jawaban atas usaha kami, selamat ya sayang” ucap suamiku tersenyum senang. “ Alhamdulillah Da, tapi kata dokter tumor di rahimku ini bisa menghambat pertumbuhan janinku dan bisa saja tiba-tiba terjadi keguguran kalau kerja terlalu berat atau stress berat” jelasku pada suamiku. “ InsyaAllah kita bersama-sama menjaga kesehatan janin kita sampai dia lahir dan menjaga kesehatanmu” ujar suamiku dengan rona muka senang. Semua anjuran dokter kami lakukan demi kesehatan janin dalam kandungaku. Suamiku sangat protektif menjagaku sampai-sampai semua urusan rumah sekarang diserahkan pada pembantu. Aku disuruh istirahat yang banyak. Namun, aku tidak bisa meninggalkan pekerjaanku sebagai pegawai bank yang sudah senior dan teladan. Aku pasti mengambil cuti nantinya kalau sudah mendekati lahiran dan untuk sekarang ini aku masih terus bekerja. Menjadi pegawai bank adalah cita-citaku dari kecil, jadi aku sangat menyenangi pekerjaanku. Namun, aku sering diingatkan dokter dan suamiku kalau porsi kerjanya harus dikurangi. Aku terkadang bandel dan pernah beberapa kali mengadakan rapat dengan karyawan lainnya dan direktur ke luar kota. Hal ini membuat kondisi tubuhku sedikit drop. Tapi aku biasanya segera ke dokter langganan untuk berobat dan biasanya kondisi tubuh segar lagi. Memasuki usia kahamilan 4 bulan, aku sering merasakan rasa nyeri di perutku dan rasa tertekan pada bagian perut bawah. Aku membicarakan hal itu pada suamiku dan kami sering mengunjungi dokter kandungan untuk konsultasi. Dokter menyarankan kalau aku tidak bekerja dulu sementara waktu sampai melahirkan karena takut terjadi komplikasi. Jadi aku diharuskan untuk istirahat total. Namun, aku masih juga kerja, tapi pulangnya tidak sampai sore, sekitar jam 1 udah beristihat di rumah. Minggu pagi itu aku sedang memasak di dapur ditemai pembantu. Sewaktu ingin mengambil mangkok, tiba-tiba saja perutku keram, nyeri dan bagian bawahnya terasa sangat menekan. Aku menghentikan masakku dan beranjak ke kamar, setiba di kamar aku kaget melihat darah yang banyak keluar dan berteriak, suamiku langsung masuk ke kamar dan membawaku ke rumah sakit. Akhirnya kandunganku tidak bisa bertahan, aku keguguran dan kehilangan buah hatiku. Tampak raut kecewa di muka suamiku. Aku hanya bisa menangis, Mama dan keluargaku yang lain ikut bersedih. Dokter mengatakan bahwa keadaan tumorku semakin memburuk setelah keguguran itu. Dokter memberikan 2 plihan, jika memang masih ingin mempunyai anak, maka aku harus istirahat total dan dipantau terus dengan pengobatan serta terapi medis atau jika masih ingin bekerja, maka tomor harus diangkat besta rahimnya, maka kemungkinan hamil tidak ada lagi. Akhirnya aku dan suami memilih untuk tetap berusaha mendapatkan anak. Demi mendapatkan anak, aku berhenti bekerja dan menetap di rumah. Karirku sebagai pegawai bank sudah kulepas dan ingin fokus pada program mendapatkan anak. Selama 8 bulan istirahat total, akhirnya aku hamil lagi dan untuk kedua kalinya ini aku benar-benar menjaga kandunganku hingga akhirnya sampai pada usia 9 bulan. Menjelang menghitung hari menjelang melahirkan, malam itu aku pergi bersama suamiku menghadiri hajatan bos perusahaan tempat suamiku bekerja. Setiba memasuki gedung tempat hajatan, tiba-tiba perutku sakit dan meregang. Rasa itu seperti yang aku rasakan sewaktu keguguran kemaren. Tanpa pamit kepada yang punya hajatan, suamiku langsung membawaku ke rumah sakit. Perdarahn hebat itu terjadi lagi, aku sudah kehabisan darah tapi perjalanan masih jauh. Suamiku sangat cemas dan sekuat mungkin menaikkan kecepatan mobil agar sampai ke rumah sakit. Setiba di rumah sakit, dokter mengatakan kondisiku sudah shock dan kehilangan banyak darah. Dokter menyuruh transfusi darah agar bisa dilakukan operasi sesar untuk mengeluarkan bayi kami yang sudah sangat kritis di dalam perutku. Untuk dikeluarkan secara normal tidak mungkin, karena kondisiku sangat lemah. Jalan sesar akhirnya di pilih untuk menyalamatkan aku dan bayiku. Dalam konsis kritis itu dokter memanggil suamiku untuk meminta izin apakah boleh rahimku diangkat karena kondisi tumor itu sudah sangat parah dan bisa akan menyebar ke organ lain jika tidak diangkat juga. Akhirnya suamiku mengizinkan pengangkatan tumor dan rahimku. Dan proses sesar berjalan lancar, akhirnya kami dianugrahi bayi perempuan yang cantik mirip aku. Hidung dan bibirnya mirip suamiku. Senangnya aku akhirnya mendapatkan anak. Tapi ada perasaan sedih yang kurasakan karena rahimku diangkat dan tidak akan mempunyai anak lagi. Rasa syukur tetap kami panjatkan kepada tuhan karena bagaimanapun juga do’a kami dikabulkan untuk mendapatkan anak, walaupun hanya 1 orang. Dari pengalaman hidup ini, kami dapat mengambil kesimpulan bahwa sesuatu yang kita inginkan haruslah diusahakan semaksimal mungkin, tidak boleh menyerah dan yang terpenting harus ikhlas akan semua yang terjadi. Terima kasih tuhan. by : Yuliza Chyntia Utami
Minggu, 29 Juli 2012
Aku, Karirku, dan Tumor di Rahimku
5 tahun pernikahanku dengan Uda Rahmat, akhirnya sosok malaikat kecil yang selalu kami dambakan hadir di kehidupan keluarga kecil kami. Sejak didiagnosa oleh dokter kandungan 5 tahun lalu kalau aku terkena tumor rahim, rasanya tidak ada harapan lagi bagiku untuk bisa mendampingi Uda sebagai seorang istri dan Ibu seutuhnya. Pemeriksaan kesehatan reproduksi yang kami lakukan sebelum menikah itu, telah mengubah asa dan harapanku untuk melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan bersama Uda Rahmat. Aku merasa menjadi wanita yang tidak sempurna yang nantinya tidak bisa melahirkan seorang anak. Aku sangat sedih dan malu kepada seluruh keluarga, terutama kepada Uda Rahmat, karena semua keperluan pernikahan sudah hampir selesai dan tinggal menunggu hari pernikannya. Aku menangis tersedu-sedu di pelukan Mamaku dan mengatakan akan membatalkan pernikahan itu, dan Mama berkata kalau hal itu akan dibicarakan dalam rapat keluarga untuk mencari jalan keluar yang terbaik dan yang terpenting adalah bagaimana keputusan Uda dengan Aku sendiri sebagai sepasang yang akan menjalani pernikahan itu.
Malam itu, berdiri di ujung rak-rak buku dan ditemani dengan sisa-sisa hujan yang sejak 2 jam lalu membasahi seluruh kota, tidak ada sepatah kata yang keluar dari mulutku dan Uda Rahmat bingung dengan tingkahku. Melihat diriku yang sejak tadi hanya diam dan muram sambil memandangi tetes-tetes air pada kaca toko buku itu, Uda tidak berani bertanya dan hanya bisa menungguku untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Sejak tadi dia membaca sinopsis buku-buku yang terpajang di sepanjang rak buku dekat aku berdiri. Sesekali dia medekatiku dan memanggil namaku dan aku hanya diam seribu bahasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar