Jumat, 21 Januari 2011

nuliiiisssss.....


 Atri Sebuah Kebebasan 
 
Hahhhh hidup ini sangat membosankan……
Semua serba diatur, mau ke sini salah… mau ke sana salah….
Tuhan, tolonglah aku….bantu aku lepas dari belenggu yang menyesakkan batinku….

Malam itu ditemani sepi yang menggerogoti seantero dunia, aku berada di balik laptop yang sejak tadi sore nagkring dengan serba-serbi Facebook……Mata ini tak bisa terpejam, seolah-olah ada galah dari bambu yang membukanya lebar-lebar. Di balik laptop aku mulai menulis apa yang ada dalam pikiranku sekarang…..sengaja ku minimize kan jendela Facebook.

Aku adalah aku, aku ingin menjadi apa yang aku inginkan. Aku ingin tak ada yang melarangku, tapi sepertinya itu sebuah khayalan yang mustahil akan kugapai. Hidup dalam keluarga yang serba “ada” membuatku bosan, ingin rasanya aku berteriak, tapi itu percuma. Tak ada yang mau mendengar teriakkanku dan tak ada yang peduli. Mungkin sebagian orang bisa bertahan dengan ini, sebagian orang malah suka dengan keterkekangan yang aku rasakan sekarang, tapi aku berbeda, aku tak bisa seperti itu, Aku ingin seperti burung yang bebas ke mana hendak ia pergi, bebas menentukan jalan hidupnya sendiri, tidak diatur ini dan itu.

Aku tidak menyalahkan keluargaku, mungkin banyak orang yang mau seperti posisiku sekarang ini. Aku juga tidak menyalahkan keteraturan dan didikan keluargaku. Ini sudah menjadi tradisi yang mendarah daging dalam keluarga dan tak bisa diubah lagi walaupun dunia diguncangkan. 

Lahir dari background keluarga yang semua orang inginkan posisinya membuatku tak nyaman dan membuatku “menderita”. Aku bukan tak mensyukuri nikmat dan karunia dari Tuhan, aku juga tidak menolak dengan semua yang diberikan tuhan kepadaku. Aku malah bersyukur ternyata Tuhan menyayangiku. Yang salah menurutku dan benar menurut keluargaku adalah “aturan-aturan” karena menurutku itu bukanlah sebuah aturan yang membuat seseorang sukses, tapi itu sebuah pengekangan bagiku, nah itu yang tidak ku suka.
Dari kecil aku hidup dalam sebuah “keteratutaran” yang membelenggu itu. Mereka tak menyadari kalau aku tak suka dengan itu, karena menurut opandangan mereka itu adalah yang terbaik untukku. Ku jalani hari-hariku dengan senyuman yang terpaksa dan terasa menyiksa batin.

Mungkin kelihatannya aku bahagia dengan semua yang ada, seolah-olah semua orang memandang iri kepadaku karena mereka tak bisa sepertiku. Hal ini sangat terbalik dengan apa yang aku inginkan, justru aku ingin seperti mereka yang “bebas”. 

Masa-masa kecilku tak banyak kubuangkan dengan bermain seperti anak-anak seumuranku, ku hanya berkutit dengan keteraturan itu. Ingin rasanya aku bermain dengan teman-teman yang senyuman kebahagiaannya tidak dipaksa sepertiku. Mereka tersenyum lepas, tertawa dan bercanda dengan lepas, tak ada sesuatu yang sesak di batin mereka. Aku ingiiiiiin sekali seperti mereka, tapi itu tidak bisa. Bermain di pasir, bermain di bawah hujan deras sambil tertawa-tawa dengan plosotan dari pelepah pinang, mandi di sungai sambil mincing, memanjat pohon buah-buahan sambil memakan buahnya di atas pohon, tertawa ceria sambil berlari-lari bermain bola, bermain laying-layang dan masih banyak lainnya.

Masa itu telah berlalu…..akupun mulai beranjak remaja. Lagi-lagi aku tak seperti remaja lainnya, aku tak bisa seperti mereka. Lagi-lagi aku berkutat dengan “keteraturan” itu. Aku jalani saja karena aku telah Resisten dengan hal itu hingga aku mengenal yang namanya “Putih Abu-abu”.

Kata orang masa “Putih Abu-abu” itu masa yang sangat indah, masa di mana seseorang tak bisa melupakannya sampai mereka sudah tua, masa di mana mereka sudah mengenal “sebuah perasaan” yang menggetarkan batin “cinta”. Ternyata aku sedikit sama dengan mereka yang mengatakan hal itu, aku juga tak mengerti apa yang membuat “perasaan” ini tak menentu ketika “seseorang “ ada di sekitarku, mungkinkah itu perasaan “cinta”? 

Heemmm…akhirnya ku merasakan seperti apa yang orang rasakan, tapi…… ada hal yang membuatnya berbeda. Dan hal itu adalah yang selalu menghantuiku sejak “Brojol” hingga sekarang, “keteraturan itu selalu menggrayangi dan membuntutiku ke mana aku pergi. Mengapa hal itu selalu menggangguku?? Baru seper sekian detik aku merasakan arti sebuah senyum yang lepas, tapi hal itu direnggut begitu saja tanpa permisi terlebih dahulu.

Aku sudah tak bisa berbuat dan berkata apa-apa lagi, aku sudah muak dan bosan, tapi aku tak bisa untuk menolak atau membantah, karena aku sayang “mereka”, aku tahu maksud mereka baik untuk masa depanku. Tapi lagi-lagi hal ini mesti kukatrakan kalau aku tidak suka dengan “keteraturan “mereka”. Hal itu membuat batinku tersiksa, membuat kebebasanku terenggut dan menghambat kreativitasku yang ingin sekali kutuangkan dalam riwayat hidupku.

Sekarang aku sudah dewasa, aku harus melakukan yang terbaik untukku dan untuk orang tuaku. Biarlah “keteraturan” itu menemaniku hingga akhir hayatku, yang terpenting di sini aku bisa membuat kedua orang tuaku dan semua keluarga bahagia, walaupun sebenarnya dalam hati yang terdalam ada jeritan yang sangat menusuk dan tidak bisa didengar lagi. Yang terpenting sekarang, aku akan selalu menuruti apa kehendak “keteraturan” itu dan entah kapan “keteraturan itu meninggalkan diriku dan pergi jauh tak membekas. Aku akan ikut terus alur “keteraturan” itu sampai “keteraturan itu jenuh membayangiku.

Demi orang-orang yang kusayangi, aku rela untuk tidak dapat meraih kebebasan itu, mungkin jauh di sana aku akan mendapatkannya. Akan aku arungi jalan hidupku seperti ini, karena ini memang sudah garis merah cerita dongeng hidupku, entah sampai kapan aku akan selalu ditemani “keteraturan” itu….aku tak tahu….sebuah kebebasan mungkin tak berteman denganku. Tapi hatiku selalu bertanya, Akankah aku berteman dengan kebebasan?? Kapan itu?? Sebenarnya apa arti sebuah kebebasan itu dalam hidupku????
Kuharap Tuhan bisa memberi jawaban dari pertanyaanku itu……Aamiin…..

Selesai aku meluapkan semua yang ada dalam pikiranku, baru saja ingin menyimpan file yang aku tulis, terdengar bunyi derap sandal yang menaiki tangga, dan aku tersadar bahwa lampu kamar belum dimatikan, kalau belum dimatikan sebagai pertanda orang yang ada di dalam kamar belum tidur, untung aku sadar dan langsung saja kumatikan lampu kamar tidurku dan langsung ku simpan file data yang kutulis dank u Shut Down kan laptopku dan berpura-pura langsung tidur.

Sejak tadi aku tak sadar kalau aku lupa mematikan lampu kamar, karena peraturannya tidur harus tepat jam 9 malam dan pertanda sudah tidur kalau lampu kamar dimatikan.
Huhhhhh…untung saja……kalau ketahuan aku belum tidur jam 1 pagi, bisa kena ceramah dari Eyang Fegong…..orang yang paling dihormati di kerjaan keratin ini, karena sebagai seorang cucu seorang Ratu Agung aku tidak boleh melanggar “keteraturan” itu dan harus disiplin dengan “keteraturan” itu.

Seraya berbaring ditempat tidur, aku berfikir semoga saja ku temukan kebebasan itu. Entah mengapa setelah meluapkan segala hal tadi, mataku mulai mengantuk, sangah galah bamboo yang nangkring sejak tadi di kelopak mataku, lepas dan menutupkan mataku yang sudah mengantuk, sebelum memejamkan mata, aku berdo’a kepada “ Tuhan kalau kebebasan itu memang untukku, berikanlah….kalau tidak hilangkanlah segala sesuatu yang kupikirkan tentang kebebasan itu, tapi ku mohon berikanlah aku sebuah makna dari kebebsan itu……agar aku bisa mngerti dan bisa berpikir dewasa, aamiinnn…….


                                                                                                                        By : Za



Tidak ada komentar:

Posting Komentar