Jumat, 28 Desember 2012

kau pun hadir dalam hidupku

Saat kau datang menyentuh relung jiwaku,, metabolisme tubuhku tak karuan bekerja. Awalnya aku hanya mengira itu sebuah sentuhan hangat yang sifatnya semu. Tapi mengapa semakin kau ada dalam memori otakku, semakin ku yakin kau memang terlahir untukku. Berjalan seperti aliran darah yang setia dengan mesranya beriringan dengan jantung untuk mengatur hidup manusia, seperti itu pula kau hadir dengan tulus dalam hati dan jiwa ini.

Dalam sebuah proses pengenalan itu, kita mengalami siklus plana yang naik-turun tapi tak pernah mencapai titik nol. Aku mengerti itu proses kita untuk mengenal pribadi satu sama lain. Belajar dari itu aku bisa memahami sifatmu dan tulusnya kamu padaku. Aku pun hanya bisa percaya dan yakin saat dimana siklus itu turun dan bayangan itu kabur dari pandanganku. Aku tidak goyah dan tidak ragu sedikitpun akan rasa itu. Aku dengan tulus menyimpan rasa itu, karena aku yakin kau pun tulus. Hanya suatu kondisi yang membuat perkenalan kita masuk ke  dalam siklus yang sangat menurun.

Dan, saat siklus itu naik kembali, semuanya terasa hangat seperti demam yang naik kembali saat setelah mereda sekian jam. Kaburnya bayangan itu, kembali menormalkan fungsi retina mataku untuk memantulkannya pada posisi yang tepat. Awalnya aku ragu, karena sekian lama bayangan itu kabur, tapi untuk persekian detik saat itu tiba-tiba kau jelas terlihat. Lebih indah dan menyejukkan jiwa. Dengan usahaku untuk meyakinkan ini nyata atau tidak, kau pun semakin terlihat jelas dan memeluk hatiku dengan hangatnya. Kau yakinkan aku akan keseriusanmu, tapi saat itu aku hanya bisa terdiam dan terkejut, detakan jantungku tidak mau bersahabat hingga sistem tubuhku pun memaksakan dirinya untuk bekerja semaksimal mungkin untuk menormalkan. Aku masih berada dalam kondisi setengah sadar akan kenyataan yang jelas di depanku. Dan, akhirnya aku mengerti akan rencana tuhan membolak-balikkan perkenalan kt selama ini. Memang terasa indah pada akhirnya. Kau pun hadir dalam hidupku.

Aku tidak meminta bayangan itu harus kembali jelas dalam penglihatanku. Tapi aku yakin, jika bayangan itu memang untukku, pasti akan terlihat kembali. Dan, sekedar ingin kau tahu apa yang sebenarnya terjadi padaku saat bayanganmu kabur dari penglihatanku, aku selalu meminta kepada tuhan berikan yang terbaik untukku dan untukmu. Dan satu hal lagi, bayangmu memang kabur dari penglihatanku, tapi kau selalu hadir dalam jiwa ini. Kita itu satu,,

Dan sekarang, tuhan pun memberi jawaban akan keyakinanku, Kau pun memang jelas terlihat kembali dalam mata hatiku, dan mengisi ruang hati yang selama ini memang ada untukmu. Kau memeluk hatiku dengan tulus dan hangat, memberi sejuta keindahan akan kegersangan yang selama ini sama-sama kita rasakan. Kau hadir nyata dalam hidupku. Kau adalah keyakinanku akan sebuah rasa sayang dan cinta yang tulus, kau mengajari aku untuk mencintai dengan tulus. Selama ini keyakinanku benar, kita sama-sama punya rasa sayang dan cinta, tapi harus dibolak-balikkan oleh tuhan agar perkenalan kita ini menjadi sebuah ikatan yang erat dan kuat. Dan, memang adanya, sekarang,, kau untukku dan aku untukmu.. kita itu jiwa yang satu..

sayang kamu :)







Kamis, 22 November 2012

Gambaran Radiologi Karsinoma Nasofaring



BAB I
PENDAHULUAN

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher terbanyak di temukan di Indonesia. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma nasofaring, kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung  dan sinus paranasal ( 18%), laring (16%) dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah. Berdasarkan data laboratorium patologik anatomik tumor ganas nasofaring  sendiri selalu berada dalam kedudukan lima besar dari tumor ganas serviks uteri, tumor payudara, tumor getah bening dan tumor kulit. Tumor ini berasal dari fossa Rosenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamosa.(1,2,3)

Survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1980 secara “pathology based” mendapatkan angka prevalensi karsinoma nasofaring 4,7 per 100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 – 8000 kasus per tahun di seluruh Indonesia.(1)
           
Diagnosis dini menentukan prognosis pasien, namun cukup sulit dilakukan, karena nasofaring tersembunyi di belakang tabir langit dan terletak di bawah dasar tengkorak serta berhubungan dengan banyak daerah penting di dalam tengkorak dan ke lateral maupun ke posterior leher. (1,2)
            Oleh kerena letak nasofaring tidak mudah diperiksa oleh mereka yang bukan ahli, seringkali tumor ditemukan terlambat dan menyebabkan metastasis ke leher lebih sering ditemukan sebagai gejala pertama.(1,2)
Karsinoma nasofaring disebut  juga sebagai “tumor kanton “( canton tumor ). Menurut estimasi WHO, sekitar 80% dari karsinoma nasofaroing  didunia terjadi di China. Radioterapi dikombinasi dengan kemoterapi dapat meningkatkan efektivitas terapi kanker nasofaring .(1,2)  
Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan suatu problem, Hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak khas serta letak nasofaring yang tersembunyi, sehingga diagnosis sering terlambat. Pada stadium dini, radioterapi masih merupakan pengobatan pilihan yang dapat diberikan secara tunggal dan memberikan angka kesembuhan yang cukup tinggi. Pada stadium lanjut, diperlukan terapi tambahan kemoterapi yang dikombinasikan dengan radioterapi.(7)

BAB II
TINJAUAN TEORITIS

2.1 Anatomi Nasofaring
Nasofaring terletak di antara basis cranial dan palatum mole, menghubungkan rongga hidung dan orofaring. Nasofaring terletak di belakang rongga hidung, di atas palatum molle. Rongga nasofaring menyerupai sebuah kubus yang tidak beraturan, diameter atas-bawah dan kiri -kanan masing-masing sekitar 3cm, diameter depan belakang 2-3 cm, dapat dibagi menjadi dinding anterior, superior, posterior, inferior dan 2 dinding lateral yang simetri bilateral. Bila palatum molle diangkat dan dinding posterior faring ditarik ke depan, seperti waktu menelan, maka nasofaring tertutup dari orofaring. Nasofaring  mempunyai atap, dasar, dinding anterior, dinding posterior, dan dinding lateral.(1,2,3)
Dinding supero-posterior : dinding superior dan posterior bersambung dan miring membentuk lengkungan, di antara kedua dinding tidak terdapat batas anatomis yang jelas, maka secara klinis sering disebut sebagai dinding supero–posterior, yaitu dari batas atas lubang hidung posterior ke posterior, hingga taraf palatum mole. Lapisan submukosa area itu kaya akan jaringan limfatik membentuk tonsil faring , di masa anak hyperplasia nyata membentuk adenoid. Dinding posterior setinggi vertebra servikal 1, kedua sisinya adalah batas posterior resesus faring.(1,2,3)
            Dinding lateral : mencakup (1) pars anterior tuba timpanofaringeus; (2) area tuba timpanofaringeus, terdapat ostium faringeus tuba timpanofaringeus (membentuk segitiga, sekitar 1cm dari ujung posterior konka nasalis inferior) dan torus tubarius di sebelah posterosuperiornya (terbentuk dari lipatan lempeng kartilago berbentuk segitiga) bersama jaringan ikat di bawahnya membentuk pars kartilago tuba timpanofaringeus; (3) pars posterior tuba timpanofaringeus yaitu resesus faringeus (disebut juga fosa rosenmulleri) terletak disebelah posterosuperior torus tubarius, berhubungan dengan dinding posterior atap nasofaring. Resesus ini dalamnya sekitar 1cm, membentuk lekukan berbentuk kerucut .(1,2,3)
Dinding anterior : Dinding anterior dibentuk oleh apertura nasalis posterior, dipisahkan oleh pinggir posterior septum nasi. Margin posterior septum nasalis dan ostium posterior nasalis di kedua sisinya, langsung berhubungan dengan kavum nasalis .(1,2,3)
Dinding dasar : dorsum palatum mole dan ismus orofaring di belakangnya. Dasar dibentuk oleh permukaan atas palatum molle yang miring. Isthmus pharyngeus adalah lubang di dasar nasofaring di antara pinggir bebas palatum molle dan dinding posterior faring. Selama menelan, hubungan antara naso dan orofaring tertutup oleh naiknya palatum molle dan tertariknya dinding posterior faring ke depan.(1,2,3)

Drainase limfatik : area nasofaring sangat kaya akan saluran limfatik, terutama drainase ke kelenjar limfe faringeal posterior paravertebral servikal (disebut juga kelenjar limfe Rouviere, sebagai kelenjar limfe terminal pertama drainase kanker nasofaring ), kemudian masuk ke kelenjar limfe kelompok profunda servikal, terutama meliputi (1) rantai kelenjar limfe jugularis interna, (2) rantai kelenjar nevi asesorius(terletk dalam segitiga posterior leher ), (3) rantai kelejar limfe arteri dan vena transversalis koli ( di fossa supraklavikular ).(1,2,3)
            Pembuluh darah berasal dari percabangan level I atau level II arteri karotis eksterna, masing-masing adalah arteri faringeal asendens, cabang terkecil arteri karotis eksterna; (2) arteri palatina asendens; (3) arteri faringea, salah satu cabang terminal dari arteri maksilaris interna; (4) arteri pterigoideus, juga adalah cabang akhir arteri maksilaris interna .(1,2)
            Persarafan : saraf sensorik berasal dari nervi glosofaringeal dan vagus. Saraf motorik dari nervus vagus, mempersarafi sebagian otot faring dan palatum mole . (1,2)

        
 





BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Definisi
Tumor nasofaring adalah tumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaring dengan predileksi di fosa Rossenmuller dan atap nasofaring . Merupakan tumor  daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia. Diagnosis dini cukup sulit karena letakya yang tersembunyi dan berhubungan dengan banyak daerah vital.(1,2)

  Tumor nasofaring juga merupakan tumor ganas di daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia. Hampir 60 % tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma nasofaring, kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan sinus paranasal, laring dan tumor ganas rongga mulut, tonsil hipofaring dalam persentase rendah.(1,2)
Karsinoma nasofaring disebut  juga sebagai “tumor kanton “( canton tumor ). Karsinoma nasofaring  (KNF) merupakan salah satu bentuk tumor  ganas yang berasal dari sel epitel.(1,2)
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai di antara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring termasuk dalam lima besar tumor ganas dengan frekwensi tertinggi, sedangkan di daerah kepala dan leher menduduki tempat pertama. Tumor ini berasal dari fossa Rosenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamosa. (7)

 

3.2 Epidemiologi
Kanker nasofaring dapat terjadi pada segala usia, tapi umumya menyerang usia 30-60 tahun, menduduki 75-90% .(1)
1.      Sifat endemis menonjol
Kanker  nasofaring jarang sekali ditemukan di benua Eropa, Amerika, maupun Oseania, insidennya umumnya kurang dari 1/ 100.000. Namun relative sering ditemukan di berbagai Negara Asia Tenggara dan China.(1)
2.      Kerentanan suku bangsa atau kelompok masyarakat tertentu
Insiden kanker nasofaring menunjukkan perbedaan ras yang mencolok. Dari ketiga ras besar di dunia, sebagian ras mongoloid merupakan kelompok insiden tinggi kanker nasofaring, di antaranya mencakup orang China di kawasan Selatan China dan di wilayah Asia Tenggara.(1)
  1. Fenomena aregasi familial
Keluarga tingkat I kanker nasofaring memiliki insiden kumulatif kanker nasofaring yang jelas lebih tinggi daripada silsilah pasangannya, sedangkan tumor tidak tampak perbedaan.(1)

3.3 Etiologi
Terjadinya kanker nasofaring mungkin multifaktorial, proses karsinogenesisnya mungkin mencakup banyak tahap. Faktor yang mungkin terkait dengan timbulnya kanker nasofaring adalah : (1)
1.      Kerentanan genetik
Walaupun kanker nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tapi kerentanan terhadap kanker nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relative menonjol dan memiliki fenomena agregasi familial .(1)

2.      Virus EB
Metode imunologi membuktikan virus EB membawa antigen spesifik seperti antigen kapsid virus (VCA), antigen mebran (MA), antigen dini (EA), antigen nuklir (EBNA) dan lainnya. Virus EB memiliki kaitan erat dengan kanker  nasofaring, alasanya : (1)

a)      Di dalam serum pasien kanker nasofaring ditemukan antibody  terkait virus EB (ternasuk VCA –IgA, EA-IgA, EBNA, dan lainnya dengan frekuensi positif rata-rata titer geometriknya jelas lebih tinggi dibandingkan orang normal dan penderita kanker jenis lain (termasuk kanker kepala leher), dan titernya berkaitan positif dengan beban tumor. Selain itu titer antibody dapat menurun bertahap sesuai pulihnya kondisi pasien dan kembali meningkat bila penyakitnya rekuren atau memburuk.(1)
b)      Di dalam sel kanker nasofaring dapat dideteksi zat petanda virus EB seperti DNA virus dan EBNA.(1)
c)      Epitel nasofaring di luar tubuh bila diinfeksi dengan galur sel mengandung virus EB, ditemukan epitel yang terinfeksi tersebut tumbuh lebih cepat, gambaran pembelahan inti juga banyak .(1)
d)     Dilaporkan virus EB dibawah pengaruh zat karsinogen tertentu dapat menimbulkan karsinoma tak berdiferensiasi pada jaringan mukosa nasofaring fetus manusia.(1)

3.      Faktor lingkungan
Penelitian akhir-akhir ini menemukan zat berikut berkaitan dengan timbulnya kanker nasofaring :  (1)
a)      Golongan nitrosamine : ini dapat menimbulkan kanker pada hewan. Di antaranya dimetilnitrosamin dan dietilnitrosamin kandungannya agak tinggi pada ikan asin Guangzhou. Tikus putih yang diberi pakan ikan asin dapat timbul kanker rongga nasal atau sinus nasal .(1)
b)      Hidrokarbon aromatic : pada keluraga di area insiden tinggi kanker nasofaring, kandungan 3,4 –benzpiren dalam tiap gram debu asap mencapai 16,83 µg,jelas lebih tinggi dari keluaraga di area insiden .(1)
c)      Unsure renik : nikel sulfat dapat memacu efek karsinogenesis pada proses timbul nya kanker nasofaring pada tikus akibat dinitrosopiperazin dosis kecil .(1)

3.4                         Gejala Klinis
Gejala karsinoma nasofaring dibagi 4 kelompok yaitu : (1,2)
·         Gejala nasofaring berupa epistaksis ringan atau sumbatan hidung
·         Gejala telinga berupa tinnitus, rasa tidak nyaman dan rasa nyeri di telinga
·         Gejala mata berupa diplopia, gejala syaraf  berupa neuralgia trigeminal
·         Metastasis ke kelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher

Karsinoma nasofaring menimbulkan: (7)
1.      Gejala setempat, yaitu gejala hidung berupa pilek dari satu atau kedua lubang hidung yang terus menerus. Lendir dapat bercampur darah atau nanah yang berbau. Epistaksis dapat sedikit atau banyak dan berulang, dapat juga hanya berupa riak campur darah. Obstruksi nasi unilateral atau bilateral terjadi jika tumor tumbuh secara eksofitik. Gejala telinga misalkan kurang pendengaran, tinitus atau otitis media purulenta.

2.      Gejala karena tumbuh dan menyebarnya tumor bersifat ekspansif, ke muka tumor tumbuh ke depan mengisi nasofaring dan menutup koane sehingga timbul gejala obstruksi nasi. Ke bawah, tumor mendesak palatum mole sehingga terjadi bombans palatum mole.
Bersifat infiltratif, ke atas melalui foramen ovale masuk ke endokranium, mengenai dura dan timbul sefalgia hebat, kemudian akan mengenai N. VI, terjadi diplopia dan strabismus.
Jika mengenai N. V, terjadi neuralgia trigeminal dengan gejala nyeri kepala hebat pada daerah muka, sekitar mata, hidung, rahang atas, rahang bawah, dan lidah. N. III dan N. IV terjadi ptosis dan oftalmoplegia, pada kasus lanjut tumor akan merusak N. IX, X, XI, XII.
Ke samping tumor masuk spasium parafaring, merusak N. IX, X, sehingga terjadi paresis palatum mole, faring, dan faring dengan gejala regurgitasi makanan minuman ke kavum nasi, rinolalia aperta, dan suara parau. Jika mengenai N. XII, terjadi deviasi lidah ke samping atau gangguan menelan.

3.      Gejala karena metastasis melalui aliran getah bening akan menyebabkan terjadinya pembesaran kelenjar leher (tumor colli) yang terletak di bawah ujung planum mastoid, di belakang angulus mandibula, medial dari ujung bagian atas M. Sternokleidomastoid, bisa unilateral dan bilateral.

4.      Gejala karena metastasis melalui aliran darah meskipun jarang, akan menyebabkan metastasis jauh yaitu ke hati, paru-paru, ginjal, limpa, tulang dan sebagainya. Berdasarkan gejala-gejala di atas, pada karsinoma nasofaring perlu dikenali adanya gejala dini dan gejala lanjut.

Gejala dini dijumpai saat tumor masih tumbuh dalam batas-batas nasofaring, jadi berupa gejala setempat yang disebabkan oleh tumor primer (gejala hidung dan gejala telinga seperti disebut di atas). Gejala lanjut didapat saat tumor telah tumbuh melewati batas nasofaring, baik berupa metastasis ataupun infiltrasi dari tumor.


 
3.5                         Diagnosis
Diagnosis karsinoma nasofaring ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang ditemukan, baik gejala dini maupun lanjut. Pemeriksaan rinoskopi anterior dan posterior menunjukkan tumor pada nasofaring. Selanjutnya untuk menentukan jenis tumor perlu dilakukan biopsi dan pemeriksaan patologi. Foto rontgen kepala dan CT-scan jika perlu dibuat untuk melihat metastasis ke intrakranial. Persoalan diagnosis sudah dapat dipecahkan dengan pemeriksaan CT scan daerah kepala dan leher, sehingga pada tumor primer tersembunyi pun tidak akan teralu sulit ditemukan.(1,2)
Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan biopsy nasofaring. Biopsi nasofaring dilakukan dengan 2 cara yaitu dari hidung dan dari mulut. Biopsi dari hidung dilakukan dengan tanpa melihat jelas tumornya ( blind biopsy ) cunam biopsy dimasukkan melalui rongga hidung menyelusuri konka madia ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilkukan biposi. Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan kateter melaton yang dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang nerad dalm mulut ditarik keluar dan diklaim bersama-sama ujung kateter yang dihidung. Demikian juga dengan kateter dari hidung sebelahnya, sehingga palatum mole tertarik ke atas. Kemudian dengan kaca laring dilhat daerah nasofairng. Biopsi dilakukan denga melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut, massa tumor akan terlihat lebih jelas. Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan maka dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narkosis.(1,2)
Pada pemeriksaan serologi virus Epstein-Barr (EB), parameter rutin yang diperiksa untuk penapisan kanker nasofaring adalah VCA-IgA, EA-IgA, EBV-DNAse Ab. Hasil positif pada kanker nasofaring berkaitan dengan kadar dan perubahan antibody tersebut. Dianggap memiliki resiko tinggi kanker nasofaring jika termasuk salah satu kondisi berikut ini, yaitu :
-          Titer antibody VCA-IgA ≥ 1:80
-          Dari pemeriksaan VCA-IgA, EA-IgA, dan EBV-DNAse Ab, dua di antara tiga indikator tersebut positif
-          Dari tiga indikator pemeriksaan di atas, salah satu menunjukkan titer yang tinggi kontinu atau terus meningkat.

3.5.1 Histopatologi
Telah disetujui oleh WHO hanya 3 bentuk karsinoma (epidermoid ) pada nasofaring yaitu:(1)
·         Karsinoma cell squamosa ( berkeratinisasi )
·         Karsinoma tidak berkeratinisasi
·         Karsinoma tidak berdiferensiasi
3.5.2 Metastase
Nasofaring merupakan daerah utama untuk karsinoma sel skuamosa, karsinoma yang tidak berdiferensiasi, adenokarsinoma, dan limfoma primer. Tumor-tumor ganas pada nasofaring dapat tenang sampai tumor tersebut mengenai struktur sekitarnya. Terkenanya saraf kranial kelima dapat menyebabkan nyeri lokal atau nyeri fasial. Jika tumor meluas ke atas dapat menyebabkan diplopia karena terkena saraf keenam dan saraf kranial ketiga. Perluasan ke depan menyebabkan obstruksi hidung. Perluasan ke lateral mengenai tuba eustachius menyebabkan otitis media serosa unilateral dengan tuli telinga hantaran (konduktif). Metastasis tumor ini ke retrofaring, jugular profunda, dan kelenjar getah bening asesorius spinal. Pembesaran kelenjar getah bening yang soliter terletak di posterior dan atas pada leher seringkali merupakan petunjuk. (3)
 Penyebaran atau perluasan karsinoma nasofaring adalah melalui 3 cara, yaitu : (7)
  1. Metastase ke jaringan sekitar, bisa ke-3 (tiga) arah :
Ke atas melalui :
·         Langsung ke atas dan merusak basis kranii.
·         Melalui foramen laseratum masuk ke fossa kranii media, dimana foramen lesseratum terletak 1 cm kranial dari fossa Rosenmulleri. Antara foramen laseratum dan mukosa tidak terdapat tulang maka tumor dengan mudah dapat melalui foramen ini masuk ke dalam endokranii.
·         Saraf kranial yang terkena pertama kali adalah N.VI baru kemudian N.V, N.III dan N.IV sesuai denga topografi daerah sekitar foramen laserum. Tumor kemudian dapat tumbuh ke depan dan menjadikan tekanan pada fasikulo-optikus, jaringan tumor akan memasuki orbita lewat fisura orbitalis dan dapat menyebabkan eksoptalmus.
Ke depan dan bawah, melalui :
·         Kavum nasi ke sinus paranasalis, orbita, dan fossa kranii anterior.
·         Orofaring
Tumor tumbuh ke depan, melalui koana masuk kavum nasi dan dapat menyebabkan obstruksi. Dengan melalui osteum-osteum tumor dapat masuk ke dalam sinus maksilaris, sinus sfeniodalis dan sinus ethmoidalis. Melalui foramen olfaktoria pada lamina kribosa, tumor masuk fossa kranii frontalis.
Tumor dapat tumbuh ke bawah depan dan menyusup palatum mole dan merusaknya sehingga uvula tidak lagi terletak di garis tengah. Tumor mengisi orofaring dan nasofaring sehingga menyebabkan kesukaran berbicara, bernafas dan menelan makanan (disfagi).
Ke samping
Tumor akan masuk ke dalam rongga parafaring. Di dalam rongga ini terdapat N.IX, X, XI, XII dan ganglion servikalis kranial, sehingga tumor dapat menekan dan merusak nervus-nervus tersebut.
Tumor dapat terus menerus tumbuh ke belakang masuk ke dalam foramen jugularis dan kanalis nervus hipoglosus sampai ke dalam fosa kranii posteior, sehingga N. IX, X, XI dapat rusak pada saat keluar dari foramen Jugularis dan N.XII rusak saat melawati kanalis nervus hipoglosus.
Bila kemudian tumor tumbuh ke depan atas merusak fossa infra temporal, melalui fisura orbita dan dapat menyebabkan proptosis bulbi.
Tumor meluas ke belakang merusak fasia koli profunda prevertebralis dan menyusup prevertebralis.
  1. Metastase melalui aliran limfatik
Seperti diketahui aliran limfe dari pleksus submukosa nasofaring menuju kelenjar Rouveire, kemudian ada yang profunda dan superfisial. Yang profunda menuju ke kelenjar servikalis profunda, sebagian masuk ke spatium parafaring, dalam hal ini pasien mengeluh terdapat benjolan pada leher sebagai metastase limfogenik pada daerah parafaring mengakibatkan pembesaran limfonodi daerah tersebut dan dapat menekan N.IX, X, XI, XII. Karsinoma nasofaring mengalami metastase limfogenik pada saat pertama kali diperiksa adalah 80-90% dan kira-kira separuhnya terdapat metastase bilateral ke limfonodi leher.
  1. Metastase melalui aliran darah
Metastase tumor secara hematogenik inilah yang menyebabkan terjadinya metastase jauh. Hal ini bila terjadi membuat prognosis buruk.
3.5.3 Penggolongan stadium
Untuk menentukan stadium dipakai system TNM , menurut UICC : (2)
T= tumor primer
To = tidak tampak tumor
T1 = tumor terbatas pada satu lokalisasi saja ( lateral /posterosuperior / atap dll)
T2 = tumor terdapat pada dua lokalisasi atau lebih tapi masih terbatas di dalam rongga nasofaring
T3 = tumor telah keluar dari rongga nasofaring ( rongga hidung atau orofaring )
T4 =  tumor telah keluar dari nasofaring dan telah merusak tulang tengkorak atau mengenai saraf- saraf otak .
Tx = tumor tidak jelas besarnya karena pemeriksaan tidak lengkap.
N = pembesaran kelenjar getah bening regional .
No= tidak ada pembesaran
N1 = terdapat pembesaran tetapi homolateral dan masih dapt digerakkan
N2=  terdapat pembesaran kontralateral /bilateral dan masih dapat digerakkan
N3 = terdapat pembesaran homolateral ,kontralateral maupun bilateral yang sudah melekat pada jaringan sekitar .
M = Metastasis jauh
Mo= tidak ada metastasis jauh
M1 = terdapat metastasis jauh

-                 Stadium I : T1 N0 M0

-                 Stadium II : T2 N0 M0

-                 Stadium III : T1,T2,T3 N1 M0 atau T3 N0 M0

-                 Stadium IV

Stadium IVA    : T4-N0, 1, 2-M0
Stadium IVB    : Any T-N3-M0
Stadium IVC    : Any T- Any N-M1


3.6  Penatalaksanaan

1. Radioterapi
Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma nasofaring adalah radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.  Terapi terhadap kanker nasofaring berprinsip pada individualisasi dan tingkat keparahan. Pasien stadium I/II dengan radioterapi eksternal sederhana ditambah brakiterapi kavum nasofaring. Pasien stadium III/IV dengan kombinasi radioterapi dan kemoterapi. Pasien dengan metastasis jauh harus bertumpu pada kemoterapi dan radioterapi paliatif. (1,7)


2. Kemoterapi
Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata dapat meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada keadaan kambuh. Kemoterapi meliputi kemoterapi neoadjuvan, kemoterapi adjuvant dan kemoterapi konkomitan. (1,7)

3. Operasi
Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan serologi. Nasofaringektomi merupakan suatu operasi paliatif yang dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring yang tidak berhasil diterapi dengan cara lain.


 4. Imunoterapi
Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring adalah virus Epstein-Barr, maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat diberikan imunoterapi.
Radioterapi

Radioterapi adalah metode pengobatan penyakit-penyakit maligna dengan menggunakan sinar peng-ion. Bertujuan untuk mematikan sel-sel tumor sebanyak mungkin dan memelihara jaringan sehat di sekitar tumor agar tidak menderita kerusakan terlalu berat. Karsinoma nasofaring bersifat radioresponsif sehingga radioterapi tetap merupakan terapi terpenting. Radiasi pada jaringan dapat menimbulkan ionisasi air dan elektrolit dari cairan tubuh baik intra maupun ekstra seluler, sehingga timbul ion H+ dan OH- yang sangat reaktif. Ion itu dapat bereaksi dengan molekul DNA dalam kromosom, sehingga dapat terjadi : (7)
1. Rantai ganda DNA pecah
2. Perubahan cross-linkage dalam rantai DNA
3. Perubahan base yang menyebabkan degenerasi atau kematian sel.

Dosis lethal dan kemampuan reparasi kerusakan pada sel-sel kanker lebih rendah dari sel-sel normal, sehingga akibat radiasi sel-sel kanker lebih banyak yang mati dan yang tetap rusak dibandingkan dengan sel-sel normal. Sel-sel yang masih tahan hidup akan mengadakan reparasi kerusakan DNA-nya sendiri-sendiri. Kemampuan reparasi DNA sel normal lebih baik dan lebih cepat dari sel kanker. Keadaan ini dipakai sebagai dasar untuk radioterapi pada kanker. Pada kongres Radiologi Internasional ke VIII tahun 1953, ditetapkan RAD (Radiation Absorbed Dose) sebagai banyaknya energi yang di serap per unit jaringan. Saat ini unit Sistem Internasional ( SI ) dari dosis yang di absorpsi telah diubah menjadi Gray (Gy) dan satuan yang sering dipakai adalah satuan centi gray (cGy).(7)
1 Gy = 100 rad
1 rad = 1 cGy = 10-2 Gy.


Hasil pengobatan yang dinyatakan dalam angka respons terhadap penyinaran sangat tergantung pada stadium tumor. Makin lanjut stadium tumor, makin berkurang responsnya. Untuk stadium I dan II, diperoleh respons komplit 80% - 100% dengan terapi radiasi. Sedangkan stadium III dan IV, ditemukan angka kegagalan respons lokal dan metastasis jauh yang tinggi, yaitu 50% - 80%. Angka ketahanan hidup penderita karsinoma nasofaring tergantung beberapa faktor, diantaranya yang terpenting adalah stadium penyakit.(7)

Qin dkk, melaporkan angka harapan hidup rata-rata 5 tahun dari 1379 penderita yang diberikan terapi radiasi adalah 86%, 59%, 49% dan 29% pada stadium I, II, III dan IV.(7)

a. Persiapan / perencanaan sebelum radioterapi
Sebelum diberi terapi radiasi, dibuat penentuan stadium klinik, diagnosis histopatologik, sekaligus ditentukan tujuan radiasi, kuratif atau paliatif. Penderita juga dipersiapkan secara mental dan fisik. Pada penderita, bila perlu juga keluarganya diberikan penerangan mengenai perlunya tindakan ini, tujuan pengobatan, efek samping yang mungkin timbul selama periode pengobatan. Pemeriksaan fisik dan laboratorium sebelum radiasi dimulai adalah mutlak. Penderita dengan keadaan umum yang buruk, gizi kurang atau demam tidak diperbolehkan untuk radiasi, kecuali pada keadaan yang mengancam hidup penderita, seperti obstruksi jalan makanan, perdarahan yang masif dari tumor, radiasi tetap dimulai sambil memperbaiki keadaan umum penderita. Sebagai tolok ukur, kadar Hb tidak boleh kurang dari 10 gr%, jumlah lekosit tidak boleh kurang dari 3000 per mm3 dan trombosit 100.000 per uL.(7)

b. Penentuan batas-batas lapangan radiasi
Tindakan ini merupakan salah satu langkah yang terpenting untuk menjamin berhasilnya suatu radioterapi. Lapangan penyinaran meliputi daerah tumor primer dan sekitarnya / potensi penjalaran perkontinuitatum serta kelenjar-kelenjar getah
bening regional.(7)

Untuk tumor stadium I dan II, daerah-daerah dibawah ini harus disinari :(7)
1. Seluruh nasofaring
2. Seluruh sfenoid dan basis oksiput
3. Sinus kavernosus
4. Basis kranii, minimal luasnya 7 cm2 meliputi foramen ovale, kanalis karotikus dan foramen jugularis lateral.
5. Setengah belakang kavum nasi
6. Sinus etmoid posterior
7. 1/3 posterior orbit
8. 1/3 posterior sinus maksila
9. Fossa pterygoidea
10. Dinding lateral dan posterior faring setinggi fossa midtonsilar
11. Kelenjar retrofaringeal
12. Kelenjar servikalis bilateral termasuk jugular posterior, spinal aksesori dan
supraklavikular.

Apabila ada perluasan ke kavum nasi atau orofaring ( T3 ) seluruh kavum nasi dan orofaring harus dimasukkan dalam lapangan radiasi. Apabila perluasan melalui dasar tengkorak sudah mencapai rongga kranial, batas atas dari lapangan radiasi terletak di atas fossa pituitary. Apabila penyebaran tumor sampai pada sinus etmoid dan maksila atau orbit, seluruh sinus atau orbit harus disinari. Kelenjar limfe sub mental dan oksipital secara rutin tidak termasuk, kecuali apabila ditemukan limfadenopati servikal yang masif atau apabila ada metastase ke kelenjar sub maksila.(7)

Secara garis besar, batas-batas lapangan penyinaran adalah (7)
-          Batas atas        : meliputi basis kranii, sella tursika masuk dalam lapangan radiasi.
-          Batas depan    : terletak dibelakang bola mata dan koana.
-          Batas belakang : tepat dibelakang meatus akustikus eksterna, kecuali bila terdapat pembesaran kelenjar maka batas belakang harus terletak 1 cm di belakang kelenjar yang teraba.
-          Batas bawah : terletak pada tepi atas kartilago tiroidea, batas ini berubah bila didapatkan pembesaran kelenjar leher, yaitu 1 cm lebih rendah dari kelenjar yang teraba. Lapangan ini mendapat radiasi dari kiri dan kanan penderita.

Pada penderita dengan kelenjar leher yang sangat besar sehingga metode radiasi di atas tidak dapat dilakukan, maka radiasi diberikan dengan lapangan depan dan belakang. Batas atas mencakup seluruh basis kranii. Batas bawah adalah tepi bawah klavikula, batas kiri dan kanan adalah 2/3 distal klavikula atau mengikuti besarnya kelenjar. Kelenjar supra klavikula serta leher bagian bawah mendapat radiasi dari lapangan depan, batas atas lapangan radiasi ini berhimpit dengan batas bawah lapangan radiasi untuk tumor primer.(7)




3.7 Gambaran Radiologis

Foto polos
            Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam mencari kemungkinan adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu : (7)
-          Posisi Lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak (soft tissue technique)
-          Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks
-          Tomogram Lateral daerah nasofaring
-          Tomogram Antero-posterior daerah nasofaring
Foto polos nasofaring normal


Computer Tomografi (CT) Planning/CT Scan

Pemeriksaan CT Scan, mempunyai makna klinis dimana aplikasinya adalah membantu diagnosis, memastikan luas lesi, penetapan stadium secara akurat menetapkan zona target terapi dan merancang medan radiasi secara tepat, serta memonitor kondisi remisi tumor pasca terapi dan pemeriksaan lanjut. (1)
Pemeriksaan CT Scan dilakukan untuk : (4)
1. Mengetahui metastase ke organ lain, hal ini penting untuk menentukan tingkatan staging sehingga dapat dipilih penatalaksanaan yang tepat.
2. Mengetahui apakah tumor sudah mengecil setelah pemberian kemoterapi, dilakukan pemeriksaan setelah 4–6 minggu setelah pemberian kemoterapi.
3. Mendeteksi rekurensi, dilakukan pemeriksaan setiap 5 tahun.      
CT Scan dapat digunakan untuk melihat mengetahui keberadaan tumor sehingga tumor primer yang tersembunyi pun akan ditemukan. CT scan juga dapat melihat staging dan bisa melihat konsistensi daripada tulang.(4)


CT Contrast-Enhanced menunjukan nasopharyngeal carcinoma dengan perluasan parapharyngeal kanan dan retropharyngeal adenopathy. (5,6)


CT  Scan Nonenhanced (pandangan coronal) menunjukkan  bagian yang menebal pada dinding parapharyngeal kanan. (5,6)
Potongan Axial CT Scan menunjukkan KNF: A.Sebelum Nasofaringektomi B. Setelah Nasofaringektomi. (5,6)

A         B 


A.       CT scan axial contrast-enhanced pada tingkatan nasopharynx menunjukkan suatu massa di dalam fossa pterygoid yang menutup nasofaring kanan. Terdapat erosi dari pterygoid pada bagian kanan dan juga menutup tuba eustachius dan bagian posterior sinus maksilaris kanan. (5,6)

B.       CT scan axial contrast-enhanced pada leher memperlihatkan massa dengan ukuran 3,3x2,6 cm, bulat, homogen yang meningkat, dengan lesi solid di leher kanan bagian posterior ke kelenjar submandibular. (5,6)

.
CT-scan dengan kontras pada leher menunjukkan massa yang besar dengan berbagai ukuran atau tingkatan pada nasofaring, dan meluas ke clivus dan turun ke C1 anterior. (4)


Massa besar pada tengah sinus sphenoid dengan destruksi tulang. Massa kelihatan seolah-olah terkikis atau terjadi erosi melalui clivus dan ke dalam fossa pituitary. (4)


MRI
            Pemeriksaan MRI memiliki resolusi yang baik terhadap jaringan lunak, dapat serentak membuat potongan melintang, sagital, koronal, sehingga lebih baik dari CT. MRI selain dengan jelas memperlihatkan lapisan struktur nasofaring dan luas lesi, juga dapat secara lebih dini menunjukkan infiltrasi ke tulang. Dalam membedakan antara fibrosis pasca radioterapi dan rekurensi tumor, MRI juga lebih bermanfaat.


MRI T1-Weighted Nonenhanced menunjukkan kanker nasoparyng yang mendesak ke sisi sebelah kiri clivus. Intensitas dari  sumsum tulang belakang hilang pada sisi kiri clivus dibandingkan dengan sebelah kanan.(5,6)

MRI T1-Weighted Gadolinium-enhanced axial menunjukkan kanker/tumor  nasopharyngeal dengan keterlibatan parapharingeal kiri (5,6)

MRI T1-Weighted Coronal gadolinium-enhanced menunjukkan kanker nasopharyngeal disertai keterlibatan dan perluasan ke parapharyngeal kiri ( pasien sama seperti di gambaran yang sebelumnya) (5,6)
Gambaran T2-weighted axial menunjukkan nodul servical bagian kiri  dari metastasis kanker nasoparing (5.6)

MRI Coronal T2-weighted menunjukkan gambaran metastasis dari kanker nasopharingel pada  bagian kiri nodul servical (5,6)

Male, 65 years. 9 month history of progressive worsening facial pain with right sided numbness, noted to have fullness in the right nasopharynx (4)

Selected images demonstrates a poorly defined mass involving the right side of the nasopharynx, with increased T2 and enhancement. It is associated with fluid in the mastoid air cells(4)
DAFTAR PUSTAKA

1.      Japaris, Willie. Karsinoma Nasofaring Dalam: Onkologi Klinis. Jakarta : FKUI. 2008. Hal : 263-278

2.      Roezin A, Syafril A. Karsinoma Nasofaring Dalam : Arsyad Efiaty, Iskandar Nurbaety. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Jakarta : FKUI. 1990. Hal : 146-150


3.      Adams, George L. Penyakit – penyakit Nasofaring dan Orofaring Dalam: Adams, Boies, Higler. BOIES BUKU AJAR PENYAKIT THT EDISI : 6.Jakarta : EGC. 2002. Hal : 320-327; 442-443



5.      Paulino, Arnold C ; Arceci, Robert J. Nasopharyngeal Cancer. Diunduh dari : http://emedicine.medscape.com/article/988165-workup#showall (2012)

6.       Lo , Simon S ; Naul, L Gill. Imaging in Nasopharyngeal Squamous Cell Carcinoma. Diunduh dari : http://emedicine.medscape.com/article/384425-overview#showall (2011)


7.      Asroel, Harry A. Penatalaksanaan Radioterapi Pada Karsinoma Nasofaring. Diunduh dari : http://library.usu.ac.id/download/fk/tht-hary2.pdf (2002)

8.      Prokop. Mathias, Galanski Michael. Nasopharyngeal Carcinomas Dalam : Computed Tomography Of The Body. New York : Thieme. 2003. Hal: 252-256